Sabtu, 10 Desember 2011

LEGENDA GUNUNG BAYANGKAKI


Alkisah, seorang pengembara bernama Eyang Kalipo Kusumo dari keraton Kartasura mengadakan perjalanan ke wilayah timur, disertai beberapa orang pengikutnya. Setelah beberapa saat mengembara di wilayah timur, beliau timbul hasrat untu melaksanakan semedi di wilayah pegunungan. Dari sekian banyak gunung yang berada di wilayah timur, Eyang Kalipo Kusumo tertarik dengan sebentuk gunung yang agak aneh. Yakni, bentuknya selalu jika dilihat dari sudut pandang yang berlainan. Maka berangkatlah Eyang Kalipo Kusumo bersama pengikutnya ke gunung tersebut.

Di suatu tempat, Kalipo Kusumo beristirahat. Sesekali lagi beliau memandang gunung itu, namun kali ini dengan pandangan yang tajam (mandeng, bahasa jawa). Dari peristiwa tersebut, tempat beristirahat itu kemudian diberi nama Ngindeng, yang kini dikenal dengan nama DESA NGINDENG.

Setelah beristirahat sejenak, Kalipo Kusumo meneruskan perjalanan mendaki gunung. Namun belum sampai tujuan, beliau tidak kuat lagi berjalan. Oleh ketiga pengikutnya, yakni Hadi Ronggo, Hadi Mulyo dan Hadi Dumeling, Kalipo Kusumo pun dibayang (digotong) menuju ke sebuah gua dilereng gunung. Di gua itulah Kalipo Kusumo melaksanakan semedinya, dan sekaligus menghabiskan sisa umurnya. Pada ketiga orang pengikutnya, Kalipo Kusumo berpesan, agar kelak dimakamkan di puncak gunung tersebut. Ketika kalipo Kusumo wafat, ketiga orang pengikutnya lalu menuruti wasiat terakhir gurunya. Perjalanan membawa jenazah Kalipo Kusumo itu cukup berat. Dengan kondisi jalan setapak dan lereng yang terjal, mereka membawa jenazah dengan cara dibayang antara kakai dan kepala jenazah. Dan peristiwa tersebut gunung itu kemudian diberi nama GUNUNG BAYANGKAKI.

Sedangkan petilasan Sunan kumbul yang terdapat di desa Sawoo bermula dari huru-hara di Keraton Kartasura. Penguasa Kaerasura pada waktu itu, Eyang Suseno merasa terpojok karena tak mampu mengembalikan hutang pada bangsa Cina. Suseno mempunyai kebiasaan yang buruk, yakni gemar menghisap candu yang diperolehnya dengan cara hutang kepada bangsa Cina. Makin lama hutang itu makin membengkak. Bahkan bangsa Cina menuntut sebagian tanah keraton untuk pengembalian hutang.

Dalam keadaan terdesak, Suseno melarikan diri kearah timur untuk mencari saudaranya, Kalipo Kusumo, yang sedang pergi mengembara. Singkat cerita kedua orang bersaudara itu bertemu digoa tempta pertapaan Kalipo Kusumo. Dalam pertemuan itu Suseno menceritakan semua persoalannya, bahkan mengharap agar Kalipo Kusumo segera pulang ke Kartasura, menggantikan kedudukannya sebagai raja. Namun Kalipo Kusumo tidak bersedia menuruti permintaan Suseno sebab ia merasa hanya putra dari ibu selir. Untuk menolong saudaranya, Kalipo Kusumo pun menyuruh Suseno bertapa di bawah pohon besar sebelah barat daya gunung itu.

Ternyata pohon besar yang dimaksud itu adalah pohon sawo. Oleh Suseno, tempat bertapa itu kemudian diberi nama Sawo, yang kini dikenal DESA SAWOO.

Maka mulailah penguasa Kartasura itu bertapa di bawah pohon sawo besar itu. Setelah beberapa waktu lamanya bertapa, permohonan Suseno terkabul. Keanehan lain terjadi, tempat yang diduduki Suseno untuk bersemedi, ternyata tanahnya timbul ke permukaan (numbul, bahasa jawa). Sejak itu Suseno mendapat julukan sunan Kumbul, sedangkan bekas tempat semedinya dinamakan Petilasan Sunan Kumbul.**
Loading