Percaya atau tidak. Lukisan tentang Ratu Kidul pernah dikeramatkan oleh
penghuni sebuah lokalisasi pekerja seks komersial, entah untuk pelaris
atau supaya orang segan. Lukisan itu, karya Wara Anindyah saat di
Sekolah Menengah Seni Rupa Indonesia Yogyakarta, diketahui raib waktu
keluarganya di Magelang pindah rumah, tetapi si pelukis tak ambil
pusing.
"Cerita tentang lukisan saya yang sampai di lokalisasi itu cuma menurut
kabar dari teman-teman. Benar-tidaknya, saya tidak mengeceknya," tutur
Wara (41). Lebih dari 20 tahun kemudian Wara melukis lagi Ratu Kidul.
Akan tetapi, dengan gaya melukis yang dipilihnya, dalam ”My Name is Ratu
Kidul”, sosok Ratu Kidul digambarkan seperti emak-emak berpipi tembam
dan bergincu, berpayung, serta tampak repot dengan tas belanja.
Kesannya, Ratu Kidul itu lucu.
Lukisan Nyi Roro Kidul (ilustrasi)
”Ah, ini sekadar reka-rekaan saja, kayak di film-film Indonesia jenis
film mistik dan horor itu, lho. Ratu Kidul menyamar jadi manusia.
Jalan-jalan ke mal, belanja macem-macem. Lalu pulang lagi ke kerajaannya
di kedalaman Laut Selatan,” ungkap Wara tentang karyanya yang dipajang
dalam pameran seni rupa ”Ratu Kidul dan Dunia Mitos Kita” di Balai
Soedjatmoko, Solo, 24-30 April 2010.
Ide Wara terasa orisinal. Ia melawan stereotip yang dipengaruhi budaya
patriarki—sejak Panembahan Senopati membangun Kerajaan Mataram (1587),
yaitu imaji tentang Ratu Kidul yang punya kecantikan sempurna. Sosok
mitos yang hidup di masyarakat Jawa itu umumnya dipersepsikan negatif
walau faktanya tidak begitu.
Nasib pelukisnya
Selama ini, banyak kisah tentang lukisan Ratu Kidul, sebanyak bumbu yang
menyertai, entah datang dari senimannya atau makelarnya. Entah demi
popularitas atau untuk mendongkrak harga. Bukan tidak mungkin karena,
sebagai sumber inspirasi, Ratu Kidul berasal dari dunia gaib. Mitosnya,
sosok itu bisa membuat tulah bagi yang bersikap sembarangan. Nasib
pelukisnya sering dikisahkan tragis.
Semisal, lukisan Ratu Kidul oleh Basuki Abdullah yang dikeramatkan di
sebuah kamar di Hotel Pelabuhan Ratu, Jawa Barat. Beberapa kali ia
memang melukis dengan subyek yang sama. Terakhir, sebelum maestro
pelukis naturalis itu terbunuh di rumahnya di Jakarta, ia dikabarkan
datang ke Pantai Parangtritis, Yogyakarta. Pelukis asal Solo, Didik
Suardi, juga pernah melukis Ratu Kidul. Namun, sepekan setelah lukisan
itu selesai, Didik meninggal dunia (2001). Suhardjo (1941-1998), juga
pelukis Solo, bernasib sama. Dalam keadaan sakit-sakitan ia
menyelesaikan lukisan Ratu Kidul, tetapi tak selang lama ia pun menutup
mata.
Untungnya, perupa sekarang tak punya sindrom atau takut ”kualat”
terhadap sosok yang disakralkan itu. Namun, Ratu Kidul tetap memberi
inspirasi untuk divisualkan. Ada yang melakukan pendekatan rasional, ada
yang termotivasi lewat dunia mistik, ada pula yang menghayatinya
sebagai bagian dari spiritualisme.
Di tengah kontroversi tentang fenomena Ratu Kidul, pameran seni rupa
”Ratu Kidul dan Dunia Mitos Kita” terasa istimewa. Pameran yang diikuti
18 perupa dari Solo dan Yogyakarta itu memperlihatkan sejumlah visi dan
tafsir seniman mandiri; dan bisa jadi ekspresi dari bawah sadar mereka.
Karya-karya itu memperluas cakrawala tentang dunia mitos (Ratu Kidul),
dengan konsekuensi di luar batasan estetika lumrah.
Lucia Hartini (51), pelukis surealis yang lebih dari lima tahun vakum
tidak melukis, misalnya, merasa ”terpanggil” dan antusias untuk ikut.
Sebabnya, dalam beberapa tahun terakhir ia mengaku intim dengan fenomena
itu. Konon, ada beberapa peristiwa ”ajaib” yang menyertai proses
karyanya. Hasilnya, Ratu Kidul adalah sosok perempuan muda tengah
melayang berbalut busana tipis warna hijau, dalam pusaran rambut panjang
dan latar gelombang laut biru serta susunan karang yang tercipta dari
arsiran lembut dan rinci—gaya khas Hartini.
Sensual, horor
Itu berbeda dengan Almarhum Suhardjo, Herri Sudjarwanto, Sumantri, Totok
Buchori, Ki Gedhe Solo, juga sebuah lukisan anonim koleksi Wilono Edy
Kusumo, semua dalam gaya naturalis yang cenderung memperkuat imaji orang
tentang Ratu Kidul selama ini. Herri menyuguhkan perempuan cantik
bermahkota; terkesan horor karena ada penyu muncul dari kakinya, diapit
dua ekor ular besar bermata merah.
Kengerian berbeda ditampilkan Agus Merapi yang melukiskan kepala Ratu
Kidul menyatu dengan perbukitan karang yang keropos. Rambutnya bergelung
kembang melati, bibirnya merah darah. Uniknya, sang ratu berkalungkan
telepon seluler. ”Itu simbolik, saking banyak orang sekarang yang mau
kontak dengan Ratu Kidul dengan pamrih masing-masing,” papar Agus.
”Nyi Ratu Kidul” di mata Sumantri adalah sosok perempuan cantik,
sensual, berambut panjang dengan dada membusung. ”Pancaran matanya binal
dan tubuhnya menyiratkan berahi yang tak terhindari,” kata Sumantri.
Visi serupa terlihat pada karya Ki Gedhe Solo, ”Transendental”. Anehnya,
pria yang berprofesi sebagai penyembuh alternatif ini memilih Aria
Giovanni, seorang bintang porno asal AS, sebagai model karena dianggap
mewakili imaji tentang Ratu Kidul. ”Saya memilihnya setelah menyaksikan
ribuan file wanita cantik,” katanya.
Sebaliknya, Totok Buchori mencitrakan Ratu Kidul sebagai
wajah perempuan keraton yang teduh, muncul dari balik jendela.
Sementara pada ”Aku Datang” karya VA Sudiro (71)—yang melukiskan
sepasang pria-wanita berbusana Jawa menghadap pantai di bawah langit
lembayung—kita menangkap impresi surealisme Kejawen.
Mitos Ratu Kidul ternyata bisa ditafsirkan secara bebas. Dyah Yulianti
mengidentikkan Ratu Kidul sebagai Ibu dan sumber kehidupan. ”The Realm
of Spirit” terasa mengejutkan; gaya melukis yang ekspresionistik dengan
menampilkan sosok-sosok perempuan di tengah gebyuran cat biru dan putih.
Tafsir bebas serupa kita dapatkan pada Teddy D, ”Menyapa Bintang
Selatan”: seorang anak menjumput sebuah bintang di tengah tebaran
”bulan-bulan” di langit.
Adapun karya instalasi Ivan Sagito, ”Irasionalitas Kolektif”; jajaran 11
gelung rambut dari bahan perunggu, menunjukkan mitos di masyarakat
adalah hasil pikiran irasional bersama. Adapun Nasirun menawarkan kepada
kita ”wajah” Ratu Kidul lewat 13 panil kecil dengan memanfaatkan
bingkai kayu jati yang keropos. Sebuah karya eksperimental yang terasa
subtil tentang subyek yang kontroversial itu.
Lukisan ”Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun” adalah tafsir Djoko Pekik (73)
bahwa sikap menghamba secara berlebihan kawula alit terhadap raja selama
ini sengaja dibangun melalui mitos perkawinan raja Jawa dan Ratu Kidul.
Itu tak lain tipu muslihat untuk mengukuhkan wibawa dan kekuasaan raja.
Lucunya, dalam lukisan agak karikatural ini, yang jadi raja adalah
Pekik sendiri.