Petualangan di pantai Bandealit yang angker itu benar-benar membuatnya
jera. Dia terjebak di sebuah kerajaan gaib yang dihuni oleh
wanita-wanita sangat cantik. Siapa mereka sebenarnya…?
Namaku Hengki, usia 25 tahun. Salah satu kegemaranku adalah jalan-jalan
menikmati keindahan alam, baik itu pegunungan maupun pantai. Sudah
banyak tempat yang kukunjungi. Bahkan, sejumlah gunung di Jawa, seperti
Gunung Semeru dan Bromo telah aku jelajahi. Demikian pula beberapa
kawasan pantai yang legendaris pernah kujamah dengan tanganku.
Rasanya ada kepuasan tersendiri yang tidak bisa kujelaskan dengan
kata-kata. Dengan kegemaranku bertravelling telah banyak memberiku
pengalaman baru, teman-teman baru, dan harapan-harapan baru. Tapi, aku
tidak sendirian melakukan semua itu. Ada 8 orang teman yang selalu
bersama dan kompak dalam mewujudkan kegemaran tersebut. Umumnya, kami
melakukan pendakian ke gunung, atau berkemah di sekitar pantai. Kegiatan
ini terutama sekali kami lakukan saat kami liburan kuliah. Maklum,
semua gengku adalah mahasiswa yang kuliah di berbagai perguruan tinggi.
Ada yang kuliah di ITN Malang, ITS Surabaya, UMM Malang, Unesa Surabaya,
dan aku sendiri di STIE Mandala Jember.
Suatu kali, kami mengadakan plesir ke pantai Bandealit. Hampir semua
orang tahu, kalau pantai yang satu ini masih perawan dan penuh dengan
misteri. Disamping jarang dirambah orang, pantai Bandealit beserta
hutannya dihuni oleh manusia-manusia kerdil yang sulit dilacak
keberadaannya, juga binatang buas masih banyak yang berkeliaran.
Sebagai orang-orang yang masih berjiwa muda, kami tertantang untuk
menaklukkan keganasan pantai Bandealit. Dengan diantar beberapa petugas
dari Perum Perhutani, kami menelusuri hutan yang masih perawan lewat
jalan setapak. Hutan lindung ini ternyata memang benar-benar sangat
lebat dan belum terjamah oleh tangan-tangan kotor.
Bunga anggrek banyak bertebaran di atas batu, pohon, dan di
lereng-lereng bukit dengan berbagai aroma dan warna yang sangat indah
sekali. Sayang, petugas Perhutani dan Pelindung Alam melarang kami
memetik anggrek tersebut. Hampir setengah hari kami berjalan naik turun
bukit. Karena saking lebatnya pepohonan, sinar matahari tidak bisa
menerobos tubuh kami.
Sesampainya di bibir pantai, kami segera memasang tenda, karena hari
memang telah petang. Setelah itu, kami santai menikmati petang dengan
minum kopi hangat dan makan mie instant. Tiga jam kemudian, malam tiba.
Anak-anak ada yang main kartu di dalam tenda, ada juga yang memancing
sambil duduk-duduk di atas batu karang. Kebetulan sekali, malam itu
purnama bersinar sempurna. Rasanya damai sekali berada di tengah-tengah
alam yang masih asri.
Karena keadaan alamnya yang demikian permai, kami betah berkemah di
lokasi pantai ini. Namun, sewaktu memasuki malam ketiga, aku mengalami
suatu keanehan yang sulit diterima nalar. Malam itu, sekitar pukul 12
malam, aku tidak bisa tidur. Kulihat di sisi kiriku Arman, tertidur
dengan pulas. Kulihat pula di sisi kananku Andi juga tertidur ngorok.
Karena kesal sendirian, perlahan-lahan aku keluar dari tenda. Entah
kenapa, betapa takjubnya aku melihat pemandangan alam dan air laut yang
mengkilat diterpa sinar rembulan. Ya, malam itu aku berdiri sendirian
menghadap laut lepas. Angin malam benar-benar terasa segar dan tenang.
Ombak pun berdebur ramah, menghadirkan irama alam yang menyegarkan
pikiran.
Namun, laut yang semula tenang, tiba-tiba berubah seperti mengamuk.
Ombak datang bergulung-gulung menjilati pantai Bandealit, disertai
gemuruh angin semula ramah namun kini berhembus tak tentu arah. Tapi
yang jauh lebih aneh adalah diriku. Entah bagaimana, aku tidak merasa
takut atau panic dengan perubahan alam yang sepertinya marah itu.
Malahan, aku tetap saja asyik duduk-duduk menikmati kebesaran Sang
Pencipta Alam.
Dari jarak sekitar 100 meter, kulihat tenda yang dihuni teman-teman
tidak ada yang terbuka, pertanda semua penghuninya masih tetap tertidur
pulas. Sementara itu, gulungan ombak yang menghempas pantai semakin
mengganas. Bahkan, tiba-tiba suasana pantai jadi mendung dan gelap. Tak
ada sinar purnama yang semula permai. Sementara, cahaya yang nampak di
pantai itu hanya lampu listrik baterai dari dalam tenda teman-teman yang
terlihat berkelap-kelip di kejauhan. Aku sendiri tidak tahu siapa saja
yang masih di pantai selain diriku. Namun aku sendiri, saat itu tidak
memperdulikan hal itu. Yang terpikirkan hanya menikmati malam.
Deburan ombak pantai masih terus bergulung-gulung seperti alunan musik
memecah kesunyian malam. Ketika asyik menikmati suasana sekitar,
mendadak aku dikejutkan oleh suara yang sangat asing di telingaku. Ya,
suara itu seperti langkah kuda yang menarik kereta diiringi gemerincing
klintingan yang biasanya menghiasi leher kuda.
Secara reflek, aku memalingkan wajah ke arah laut lepas tempat asal
suara aneh itu muncul. Kembali aku merasakan keanehan. Wujud kereta dan
kuda tidak ada. Yang kulihat hanya deburan ombak yang menyapu pantai.
Setelah itu, kembali suasana menjadi sunyi dan sepi. Keheningan
menyelimuti pantai Bandealit.