Senin, 05 Desember 2011

SANG MAKELAR KENA BATU NYA


GENDUT, begitu sapaan akrabnya. Kerja serabutan. Apa saja dilakoni asal jadi uang. Yang halal tentunya. Terakhir, ia lebih sreg jadi makelar. Kadang rugi. Tapi lebih banyak untungnya. Makanya, pekerjaan itu ditekuni. Sepanjang prospeknya cerah, segala mobil dibeli. Naluri bisnisnya memang bagus. Akhir-akhir ini, ia memfokuskan mobil atau motor yang bekas tabrakan. Separah apa pun dibeli. Bukan hanya di Jogyakarta. Di luar DIY pun diburu. Itu sebabnya, ia rajin baca koran. Yang diprioritaskan dibaca berita kecelakaan. Berita politik, berita keruwetan ekonomi, berita perang, dibaca paling akhir. Itu pun kalau sempat. “Cuma bikin pusing kepala,” katanya.
Setiap memburu mobil atau motor bekas tabrakan, Gendut selalu sukses. Ia pintar omong. Sehingga pemilik kendaraan yang tabrakan, langsung oke. Soalnya ia berani membeli harga tinggi, untuk ukuran mobil ringsek. Tapi Gendut punya kalkulasi sendiri. Tetap untung. Meski demikian, Gendut punya pantangan. Mobil atau motor bekas tabrakan yang dibeli yang tidak merenggut korban. “Saya tidak mau mengecewakan konsumen,” katanya.
Suatu hari, ia ditawari mobil sedan. Kondisi mesin bagus. Cat mulus. Interior juga cukup luks. Yang lebih penting, harganya sangat miring. Tanpa pikir panjang, mobil itu dibeli. “Bisa untung gede, nih,” pikirnya.http://jojopradipta.blogspot.com/
Seminggu dipakai, banyak juga yang menawar. Mobil itu masih ditahan. Harganya belum cocok, meski sebenarnya sudah untung. “Masih bisa lebih tinggi,” batinnya. Masuk minggu kedua, kebetulan ia memburu mobil di Gunungkidul. Hanya sendiri. Sampai malam. Ketika pulang, dalam perjalanan, lamat-lamat ia mendengar suara perempuan merintih, “Mas, aku sakit, mas. Tolong mas...” Gendut celingukan. Tak ada orang. Jalanan pun sepi. Bulu kuduknya merinding. Mobil langsung dipacu. Sedan itu tetap dipakai. Kalau siang tak ada yang aneh. Selepas Maghrib, suara rintihan itu terdengar lagi. Ia takut. Tapi penasaran. Ia coba lagi keluar malam. Rintihan itu terdengar lagi. Bahkan makin keras. Gendut segera pulang ke rumah. Mobil langsung digarasikan.
Tengah malam, ia mendengar suara rintihan itu lagi. Diusut-usut, sumber suara dari garasi. Lelah diteror suara rintihan, ia nekat ke garasi. Tak ada apa-apa. Didalam mobil pun tak ada apa-apa. Namun suara itu tetap terdengar. Gendut konsentrasi. Ternyata rintihan itu dari arah bawah mobil. Ia jongkok. Mau tahu ada apa? “Astaghfirullah,” ucapnya. Ia terkejut dengan mata mendelik. Ternyata, persis di depan ban belakang, ada perempuan tergolek berlumuran darah. Mukanya rusak.
Gendut ketakutan. Lalu ngacir masuk ke rumah. Ayah dan ibunya, juga istrinya, dibangunkan. “A a a, ada, han han han, hantu,” suaranya putus-putus. “Di mana?” tanya ayahnya. Gendut hanya menunjuk ke arah garasi. Ayahnya mengecek. Tak ada apa-apa. Tapi Gendut tetap ketakutan. Sampai pagi ia tak bisa tidur.
Sekitar pukul 07.00, ia langsung menelepon temannya. “Mas, mobil yang sampeyan jual ke aku, asal-usulnya gimana. Bekas tabrakan ya,” tanya Gendut. Temannya menjawab enteng,” Betul. Ada apa toh?” Gendut sewot. “Dengkulmu,” sahutnya sambil menutup telepon.
Siangnya, Gendut memberanikan diri membawa sedan dhemit itu. Lalu ditawar-tawarkan kepada rekan sesama makelar. “Aku butuh duit. Lima belas juta ambil,” tuturnya, seolah-olah seperti orang kepepet butuh uang. Karena dianggap murah, rekannya tidak menawar. Mobil itu dibayar kontan.
Sebenarnya Gendut rugi. Dulu, mobil itu dibeli Rp 20 juta. Kalau mobil normal bisa laku Rp 40 juta. Tapi sudahlah. Sambil pulang naik taksi, Gendut grundelan. “Nggak masalah aku rugi lima juta,” ujarnya. Sesaat kemudian ia tersenyum geli, karena membayangkan rekannya yang membeli mobil itu juga bakal kerepotan dihantui arwah gentayangan.
Loading