Kisah mistis ini
dituturkan oleh Cecep Suryana. Seorang petani tanpa sengaja membunuh
seekor ular bertubuh emas. Ternyata, si ular adalah putri di kerajaan
Siluman Ular yang bernama Nagagini. Akibat kematiannya, para ular ular
siluman menebar teror....
Peristiwa ini terjadi di sebuah
kampung di daerah Situraja, Kab. Sumedang. Memang sudah puluhan tahun
berlalu. Namun, kisah aneh yang diceritakan oleh Cecep Suryana, penduduk
Jl. Talun, Kel. Talun Kidul, Sumedang ini sungguh amat menegangkan.
Cecap
yang Pegawai Negeri Sipil itu bercerita tentang kejadian super
misterius di kampungnya. Dia dan ayah, ibu, serta kakak perempuannya
pernah melihat ular yang diduga binatang jadi-jadian. Ular siluman ini,
konon mengamuk karena kehilangan pasangannya.
Pengalaman mengerikan
dan menakutkan itu sampai kini masih membekas dalam benak Cecep. Berikut
ini kisah yang dituturkannya kepada Misteri...:
Tak ada seorang pun
yang menyangka kalau desaku akan dilanda malapetaka. Desa yang elok dan
aman damai itu menjadi porak-poranda diamuk makhluk jejadian yang amat
menakutkan. Makhluk itu berwujud ular. Keberadaan dan ulahnya sungguh
mengharu-biru warga di kampungku.
Aku dilahirkan di sebuah desa yang
amat asri. Nama desa itu Situraja, Kabupaten Sumedang. Desaku adalah
desa yang aman tenteram dan subur.
Kebetulan, Ayahku adalah seorang
Kuwu (kepala desa) di desa yang gemah ripah loh jiwani. Selaku Kuwu,
Ayahku bagai "Raja Kecil" yang kekuasaannya cukup besar. Apalagi beliau
juga kaya raya karena mendapat warisan dari nenekku, ditambah dengan
sawah bengkok yang luas, sehingga kekayaannya makin berlimpah.
Ayah yang tampan dan bertubuh tinggi besar itu, setiap hari naik kuda kalau mengontrol kebun dan sawahnya yang sangat luas.
Kuda
putihnya yang bernama Si Paser, merupakan binatang kesayangan kami
sekeluarga. Dinamai Si Paser, karena larinya sangat kencang bagai anak
panah lepas dari busurnya.
Aku juga senang bermain-main dengan Si Paser kalau kebetulan kuda asal Australia itu tidak dibawa oleh ayahku.
Meskipun
terlahir sebagai anak orang kaya, namun aku tidak menjadi anak yang
manja. Bahkan, aku tergolong anak yang berkelakuan baik sehingga
disayang oleh Ayah Bundaku. Sejak kecil aku dididik menjadi anak yang
santun. Bundaku yang cantik itu selalu mengajariku bagaimana menjadi
anak yang baik, shaleh, serta berbakti kepada kedua orang tua.
Selain
memiliki kuda putih yang bernama Si Paser, Ayahku juga memelihara
seekor ular sanca yang sangat besar. Ular itu diselamatkan ayahku tiga
tahun yang lalu dalam keadaan sekarat karena tertimbun batu yang
longsor di sebuah areal berbukit yang disebut warga desa setempat dengan
nama Batugulung.
Si Bencoy nama ular itu. Dia menjadi teman
bermainku setiap hari. Ular ini sangat jinak. Makananya tikus dan
bangkai ayam, atau kadang-kadang ikan yang dikail kakakku, kang Jana,
dari sungai Cileuleuy.
Sejak berteman dengan Si Bencoy, aku menjadi
senang bermain-main dengan ular. Ular jenis apapun menjadi temanku yang
setia. Semula bunda melarangku berteman dengan ular-ular itu, karena
takut terjadi sesuatu dengan diriku.
Namun, mungkin karena aku begitu
menyayangi Si Bencoy, akhirnya Ibu membiarkanku bermain dengan
ular-ular itu. Selain Si Bencoy, aku juga sangat sayang pada ular belang
yang ditemukan ayahku di bawah batu besar di kawasan Batugulung. Ular
yang kuberi nama Si Belang itu tampak bersahabat dengan Si Bencoy.
Si
Belang tak berumur panjang. Binatang melata yang lucu itu mati karena
menelan umpan yang telah ditaburi racun tikus. Tanpa sengaja Kang Jana
memberikan umpan ini karena dia tahu kalau tikus yang diberikan kepada
Si Belang ternyata ada racunnya. Aku sangat sedih kehilangan Si Belang.
Saat
aku berusia 12 tahun, desa yang aman itu diterpa prahara. Sawah-sawah
penduduk yang sebentar lagi akan dipanen rusak binasa. Padinya menjadi
hampa, daunnya yang semula hijau royo-royo berubah menjadi cokelat
kering seperti habis diterjang angin berapi. Sawah kedua orang tuaku
yang luas pun habis binasa.
Melihat kenyataan ini, tentu saja semua penduduk desa menjadi prhatin. Banyak petani menangis histeris.
Begitu
malam menjelang, warga desa cepat-cepat mengunci pintu rumahnya
rapat-rapat. Siang hari pun jarang ada penduduk yang pergi ke ladang.
Desa yang damai itu dalam sekejap berubah menjadi daerah mati.
Ayahku
yang gagah, mendadak menjadi loyo dan tak bergairah. Sepertinya dia
amat terpukul berat oleh bencana yang menimpa desanya. Dia tak berdaya
mengatasi malapetaka yang dahsyat itu. Ayah memang sudah berusaha
meminta tolong kepada orang pintar di kampungku dan kampung tetangga.
Namun, orang-orang tua yang dianggap memiliki kemampuan gaib itu tak
berdaya. Mereka angkat tangan, tak bisa mengatasi malapeta itu.
Ayah
dan semua orang di kampungku berusaha mencari akar penyebab prahara yang
menimpa. Karena, tak mungkin kampung kami yang semula aman damai
mendadak menjadi daerah mati yang menakutkan, tanpa ada sesuatu yang
menjadi penyebabnya. Akhirnya, penyebab bencana itu ketahuan juga.
Menurut
informasi, beberapa hari yang lalu, seorang warga desa bernama Ukin,
membunuh seekor ular aneh di kebunnya. Waktu itu, Mang Ukin sedang
membersihkan rumpun alang-alang. Tiba-tiba dia melihat seekor ular
berwarna kuning emas dengan kepala merah membara mendekatinya.
Ular
sebear ibu jari kaki dan panjangnya lebih dari satu meter itu, menatap
Mang Ukin dengan matanya yang menyala. Tubuhnya yang indah bercahaya
keemasan begitu memukau.
Sejenak Mang Ukin terpana. Namun, tiba-tiba
bulu kuduknya merinding. Apalagi saat ular aneh itu membuka mulutnya
yang bertaring tajam. Mang Ukin yang mendadak ketakutan mengira ular itu
akan mematuknya. Sehingga, secara reflek parang yang dia pegang
diayunkan ke tubuh ular aneh itu. Sekali tebas tubuh ular itu terpotong
menjadi dua bagian.
Tapi, keanehan terjadi. Darah yang keluar dari
tubuh ular yang terpotong jadi dua itu berwarna putih. Lebih aneh lagi,
tercium bau harum dari darah itu. Entah bau harum bunga, dupa, atau
kemenyan, Mang Ukin tidak tahu persis. Pasalnya, setelah membunuh ular
aneh Mang Ukin kepalanya mendadak merasa pusing. Matanya
berkunang-kungna. Dia limbung dan nyaris jatuh pingsan.
Namun,
sebelum tubuhnya jatuh, Mang Ukin berusaha meraih batang pohon petai
cina yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Ketika itulah mata Mang Ukin
menatap binatang yang baru saja dibunuhnya. Tampak tubuh ular aneh itu
masih berkelojotan. Tetapi tak lama kemudian si ular tak bergerak. Mati!
Bersamaan
dengan itu, bau harum yang diduga berasal dari darah yang keluar dari
tubuh ular tersebut mendadak berubah menjadi bau busuk yang menyengat.
Kepala Mang Ukin terasa berputar. Kemudian dia muntah-muntah. Dia pun
terduduk lemas, tak berdaya.
Setelah tenaganya pulih dan rasa pening
hilang, barulah Mang Ukin kemudian menguburkan bangkai ular emas itu
dipinggir kebunnya. Namun, sakit kepalanya kembali datang lagi. Akhirnya
dia menunda pekerjaannya. Dengan memaksakan diri Mang Ukin pulang ke
rumahnya. Padahal, biasanya dia pulang saat menjelang senja.
Setibanya
di rumah, Mang lalu menceritakan pengalaman anehnya kepada isterinya.
Nyi Isah, isterinya, tampak khawatir mendengar cerita Mang Ukin. Apalagi
ketika ida melihat tubuh suaminya menjadi seperti orang kedinginan dan
kemudian muntah-muntah.
Memang, malam harinya, Mang Ukin menderita
demam yang amat berat. Tubuhnya terus-menerus menggigil, dengan keringat
dingin menetes sebesar kacang hijau. Wajahnya yang lelah itupun selalu
berubah-ubah, sebentar pucat pasi seperti kapas, namuntak lama kemudian
merah seperti udang rebus. Tak ada obat yang mampu menyembuhkan
penyakitnya.
Saat demamnya meninggi, Mang Ukin mengigau tak karuan.
Kadang-kadang dia menjerit-jerit minta ampunan. Entah kepada siapa. Tak
ada seorang pun yang tahu. Namun, saat meminta mpunan ini kedua tangan
Mang Ukin menggapai-gapai, seolah ingin meraih sesuatu. Yang tak kalah
aneh, dari tubuhnya tericum bau busuk. Yang amat mencengangkan, tubuh
Mang Ukin yang tinggi kekar itu dalam dua hari menjadi ciut. Kulitnya
seakan berkerut dengan cepat. Dia menjadi lebih tua dari usia
sebenarnya. Lelaki berumur sekitar 30-an itu tampak seperti kakek-kakek
renta yang tak berdaya.
Melihat keanehan yang terjadi, para tetangga
di sekeliling rumah Mang Ukin menyarankan agar dia dibawa ke rumah
sakit. Karena Mang Ukin termasuk warga kurang mampu, maka untuk
membawanya ke rumah sakit terpaksa harus menunggu persetujuan Ayahku
sebagai seorang Kuwu.
Saat itu ayahku bersama Si Paser, kuda
kesayangannya, sudah dua hari berangkat ke desa Cipancar, Sumedang
Selatan, menengok adiknya, Mang Eman yang sedang sakit. Jadi rencana
membawa Mang Ukin ke rumah sakit terpaksa harus ditunda.
Ny. Isah tak
mau membawa Mang Ukin ke dokter tanpa persetujuan Kuwu. Apalagi,
katanya, biasanya kalau ada salah seorang anggota keluarganya yang
sakit, cukup diobati oleh orang pintar dan ternyata bisa sembuh.
Malang
tak dapat ditolak, untuk tak dapat diraih. Esok harinya Mang Ukin,
petani pendiam itu, meninggal dunia sebelum sempat dibawa ke rumah
sakit. Anehnya, sekujur tubuhnya membiru seperti keracunan. Bau busuk
juga keluar dari tubuhnya. Dan bau ini tak juga hilang meskipun nyawanya
telah melayang.
Ayahku tak sempat melayat jenazahnya. Karena begitu
dia datang melayat, Mang Ukin sudah bersatu dengan tanah alias sudah
dimakamkan.
Malam hari setelah Mang Ukin dimakamkan, hujan turun
dengan deras. Anehnya, baru kali ini hujan deras bercampur es menyiram
desa kami. Suara butiran es yang jatuh di atap rumah seluruh warga
sebenarnya enak didengar, namun suasana yang mencekam membuat bulu kuduk
berdiri meremang.
Aku dilarang ibu membuka pintu rumah untuk melihat
hujan es. Padahal, aku ingin sekali melihat es sebesar jagung yang
bertebaran di halaman rumahku. Karena, seumur hidupku aku belum pernah
mengalami hujan es.
Aku dan Ayah Bundaku, malam itu tak dapat
memicingkan mata. Tengah malam kudengar suara ribut di halaman rumahku,
seperti banyak orang sedang bercakap-cakap merundingkan sesuatu. Tubuhku
merinding.
Ayah dan Ibu saling pandang. Dengan memberanikan diri Ibu
coba mengintip dari sela-sela jendela. Suara riuh rendah itu mendadak
berhenti. Sunyi menyungkup bumi. Menurut ibu, tak ada apa-apa di halaman
rumah. Cuma yang ada kesunyian yang mencekam.
Esok paginya, dari
sejumlah warga desa kudengar bahwa mereka juga pada malam hari tadi
diganggu suara-suara aneh. Ada yang pintu rumahnya digedor keras-keras
namun tak ada pelakunya. Ada yang gentingnya pecah dilempari batu, tapi
tak tahu dari mana datangnya. Bahkan, ada yang atap rumahnya bolong
seperti ditembus benda keras, namun ketika diperiksa tidak ada apa-apa.
Hampir seluruh penduduk dicekam ketakutan.
Gangguan aneh seperti ini
berlangsung hampir selama tiga malam terus-menerus. Anehnya,. dua hari
kemudian Si Bencoy, sanca kesayangan Ayah mendadak mati. Aku juga heran,
karena sehari sebelumnya, ular yang juga kesayanganku itu terlihat
sehat, tak ada kelainan apapun. Hanya, kadang-kadang ular sanca ini
terlihat mengibas-ngibas ekornya seperti gelisah. Untuk kedu kalinya aku
kehilangan ular yang kusayangi setelah Si Belang mati keracunan.
Malam
keempat, kembali suara hiruk-pikuk itu terdengar lagi. Malam itu, kalau
tak salah malam Jum'at Kliwon. Aku ketakutan. Kupeluk tubuh Ibuku
erat-erat. Kepalaku diusapnya dengan penuh kasih sayang. Keningku
dikecup. Oh, Bunda yang penuh kasih! Kutatap matanya. Tak ada sinar
ketakutan di sana, yang ada hanya pantulan sinar kemesraan dan kasih
sayang.
Aku merasa terlindung. Rasa takutku berkurang. Kini giliran
Ayahku yang mengintip dari balik jendela. Kulihat tubuhnya yang tinggi
besar itu menggigil. Tak lama kemudian dia melambaikan tangannya ke arah
Ibuku, yang kemudian juga ikut mengintip. Aku melihat tubuh Ibuku
bergoyang, atau persisnya menggigil ketakutan.
Melihat kedua orang tuaku berulah seperti itu, aku jadi penasaran. Aku pun ikut mengintip bersama mereka. Apa yang terjadi?
Dari
balik tirai jendela kulihat di luar sana, persisnya dibawah pohon
rambutan, ada ratusan atau mungkin ribuan ekor ular berwarna kuning emas
dibalut warna merah darah saling membelit sambil mengeluarkan suara
aneh. Seperti rintihan berbaur dengan kemarahan.
Di tengah-tengah
kumpulan ular itu, ternyata ada seekor ular besar berwarna merah dengan
mata menyala. Mungkin, dia adalah raja dari hewan-hewan melata yang
menjijikan itu.
Melihat pemandangan yang sama sekali tak lazim itu,
tubuhku menggigil ketakutan. Bahkan, karena tak kuat lagi menahan rasa
takut, tak lama kemudian aku jatuh pingsan.
Anehnya, ketika siuman
aku melihat seorang lelaki tampan berpakaian sutera kuning gemerlapan
tersenyum kepadaku. Dia mengaku bernama Ki Sanca Pertala. Tak hanya
itu, lelaki yang bagai seorang pangeran dari kerajaan tempo dulu itu
juga mengaku kalau kini dirinya sedang mencari isterinya yang hilang.
Sang isteri disebutnya bernama Nyai Nagagini.
Setelah melihat
kemunculan Ki Sanca Pertala yang menjelma sebagai seorang pangeran
tampan itu, entah bagaimana aku kembali tak sadarkan diri. Setelah
sadar, aku menceritakan kedatangan orang yang bernama Ki Sanca Pertala
ini kepada Ayahku.
Ayah dan Ibu saling pandang demi mendengar
ceritaku. Kemudian keduanya mengangguk-anggukan kepala, seolah memahami
apa yang terjadi.
Pagi harinya, warga desa beramai-ramai menggali
kuburan ular emas yang dibunuh oleh almarhum Mang Ukin. Aneh, tubu ular
yang tadinya terpotong dua akibat sabetan parang Mang Ukin itu, ternyata
sudah menyatu lagi. Yang tak kalah aneh, bangkai ular itu masih berbau
harum, meski sudah lebih seminggu terkubur dalam tanah.
Atas saran
seorang sesepuh kampung yang mengerti masalah gaib, Ayah kemudian
meletakkan bangkai ular diatas talam atau nampan kuningan, berikut
sesaji yang telah disiapkan oleh seorang pawang ular yang sengaja
didatangkan khusus dari Karawang.
Kemudian, bangkai ualr siluman yang
bernama Nyi Nagagini itu dibawa ke pinggir Sungai Cileuleuy, lalu
dengan hati-hati dilarung ke sungai yang airnya sedang deras.
Sejak
saat itu, gangguan siluman ular di desaku tak pernah terdengar lagi.
Desa kami kembali menjadi desa yang aman dan tenteram.
Meskipun Ayah
dan Bundaku telah lama berpulang ke alam baka, namun kisah aneh itu
sampai kini masih membekas di benakku. Mungkin karena trauma melihat
ribuan ular aneh pada malam itu, maka hingga kini aku paling takut dan
jijik bila melihat ular