Kisah ini
diadaptasi dari sebuah kejadian mistis di kawasan Bandung Selatan.
Pelaku peristiwa lolos dari perjanjian gaib dengan siluman ular. Namun,
apa yang terjadi selanjutnya....
Kehidupan Karta sekarang
amat kontras jika dibandingkan dengan 14 tahun silam. Dia kini
tergolong orang yang sukses secara materi. Buktinya, rumah mentereng,
penggilingan gabah, toko kelontong plus kendaraan roda empat ada dalam
genggemannya. Padahal, dulunya Karta hanyalah sosok yang dikenal sebagai
penjual arang keliling. Hampir tia[ hari di berkeliling kampung dengan
arang arang yang dipikulnya.
Kini, Karta sudah jadi jutawan. Namun,
ada sesuatu yang janggal dalam kehidupan kesehariannya. Karta yang hidup
berkecukupan ini sama sekali tak memiliki anak.
Bukan berarti Karta
atau isterinya mandul. Anak lelakinya yang semata wayang telah mati
mendadak dalam usia remaja, 15 tahun silam. Sedangkan 7 anak dari ketiga
bini mudanya pun meninggal tatkala masih balita.
Kini, Karta yang
telah berusia kepala 5 hidup serumah dengan isteri tuanya bernama
Suminah. Sementara itu, ketiga isteri mudanya, satu persatu, setiap
tahun meninggal dunia tanpa suatu sebab sakit lebih dahulu.
Melihat
penampilan keseharian Karta dan Suminah yang kaya raya itu amat
bersahaja, bahkan sedikit agak jorok. Pakaian yang dikenakannya amat
lusuh dan jarang salin. Bahkan, menu makanan mereka tak sebanding dengan
jumlah kekayaan yang mereka miliki.
Kenyataan yang dialami dan
dijalani oleh suami isteri Karta yang seakan serba minim selalu
menimbulkan pertanyaan. Apakah hal ini lumrah atau tidak bagi mereka
yang hidup kaya? Entahlah! Yang pasti, kenyataan hidup Karta memang
telah menimbulkan banyak kecurigaan, terutama di mata orang-orang
sekampungnya.
Hari itu, Karta yang hanya tamat SD terlihat murung dan
gelisah, seakan ada beban berat yang bergayut dalam pikirannya.
Sementara itu isterinya, Suminah, terlihat biasa saja.
Menyaksikan
suaminya berperangai begitu, Suminah jadi iba. "Kenapa akhir-akhir ini
Akang kelihatan murung?" tanya isterinya, menyelidik. "Gerangan apa yang
sedang bergayut dalam pikiranmu?"
Yang ditanya langsung menatap
Suminah seraya mengusap mukanya dengan kedua jari tangan yang yang sudah
mulai keriput. Lantas dia berujar, "Aku amat gelisah, sebab tiga minggu
lagi aku harus mempersembahkan tumbal. Akang kuatir bila tumbal tak di
dapat, tentu di antara kita harus menjadi gantinya."
"Tahun kemarin
aku sudah menyuruh agar Akang kawin lagi. Kalau bini muda Akang
peranakannya subur, tentu sangat membantu, sebab anaknya dapat dijadikan
wadal. Ya, paling tidak seperti 7 bayi yang keluar dari rahim Karti,
Sumini, dan Romlah dulu. Kalau waktunya mendesak isteri muda Akang itu
yang akan kita persembahkan," papar Suminah.
Karta hanya diam membisu. Tatap matanya yang kosong memandang lurus ke depan.
Apa
yang dirisaukan keduanya memang tertuju pada perjanjian yang pernah
mereka ikrarkan. Ya, keduanya telah bersekutu dengan siluman ular,
lelembut pemberi kekayaan penghuni hutan Tegal Ageung.
Sejak 15 tahun
lalu, Karta dan Suminah sesungguhnya telah berkolaborasi dengan setan.
Akibat nafsu dunia terhadap harta, dan tak tahan menjalani hidup yang
selalu ditempa kemelaratan, mereka telah menempuh jalan sesat itu. Tentu
saja efek dari perbuatan itu sangat besar, dosa-dosa yang harus dipikul
keduanya amat banyak, tak sebanding dengan harta yang dinikmati selama
ini. Tambahan pula, perjanjian itu tak dapat disudahi dengan begitu
saja.
Agaknya, hati kecil Karta dan Suminah mulai tergugah. Mereka
mulai berangsur menyadari kekeliruan yang telah mereka lakukan selama
ini. Dosa-dosa itu begitu jelas terbayang di hadapan mereka. Tambahan
pula, keduanya kadang dibayangi wajah-wajah orang yang telah diwadalkan,
seolah mereka ingin menuntut balas terhadap kebiadaban itu.
Mereka pun kian risah ketika menyadari kalau para tetangganya telah mencium perilaku menyimpang yang telah mereka lakukan.
Dugaan
itu benar adanya. Gunjingan dan cemohan para tetangga mulai merebak.
Tabir pemujaan Pesugihan Blorong itu telah terendus penduduk sekitar.
Imbasnya,
Karta dan Suminah seolah terkecilkan. Buktinya, penggilingan gabah dan
toko kelontong milik mereka mulai djauhi konsumen. Ini terjadi lantaran
penduduk takut dijadikan wadal.
Meski sepi konsumen, harta Karta
sesungguhnya tetap bertambah. Ini terjadi karena tiap malam Selasa dan
Jum'at siluman ular itu selalu memberi banyak uang kepeda mereka.
Biasanya,
setelah siluman ular melakukan persetubuhan dengan Karta, maka makhluk
halus yang telah berubah wujud menjadi wanita jelita itu selalu
meninggalkan sejumlah uang di atas seprei tempat keduanya bersetubuh.
Seperti
malam Selasa Pahing itu, sejak petang Karta telah menyiapkan sesaji
dalam kamar khusus. Asap dupa mulai mengepul hingga menyelimuti seluruh
ruang kamar.
Karta duduk bersila menghadap sesaji sambil mulutnya
berkomat-kamit melafalkan mantera pemanggil iblis. Cukup lama Karta
bersemedi, peluhnya mulai membanjir dan tubuh Karta seolah meliuk-liuk
mengikuti irama mantera yang dia gumamkan.
Sekira pukul 23.30 WIB,
tubuh Karta beringsut ke atas pembaringan. Sementara itu, suasana alam
di luar rumahnya kian mencekam. Suara kepak sayap kelelawar bagai
membuka tabir akan datangnya makhluk dari alam lain.
Gonggongan
anjing dari kejauhan bunyinya seolah jelas berada dekat telinga Karta.
Semilir angin pun kian bertambah kencang menjadikan suasana menakutkan.
Pantas bila dalam suasana seperti itu penduduk sekitar emoh berada di
luar rumah.
Bunyi satwa liar seolah menyerbu rumah Karta, ditambah
angin kencang tertuju ke rumah pemuja pesugihan ini. Dari arah belakang
rumah Karta, sekonyong-konyong menyeruak seekor ular yang lumayan
besarnya.
Ular ini tubuhnya menggelosor menuju pintu depan rumah.
Anehnya, pintu itu langsung terbuka dan tertutup rapat kembali dengan
sendirinya. Lalu ular itu menerobos masuk ke kamar yang sedang ditempati
Karta untuk melakukan ritual.
Karta yang sejak tadi menunggu siluman
ular itu langsung menyambut kedatangannya. Siluman ular yang dalam
penglihatan Karta seperti sosok seorang puteri berparas jelita itu
langsung mengajak lelaki berkumis ini bersetubuh.
Permainan terlarang
yang dilakukan oleh kedua jenis makhluk berlainan alam itu berlangsung
penuh gelora. Hingga pukul 03.00 WIB dini hari mereka meliuk dalam
tarian setan. Tubuh Karta pun jadi loyo sebab tenaganya terkuras,
akibatnya dia terkulai tanpa sehelai benang yang menutup auratnya.
Sedangkan di sisi tubuhnya terdapat setumpuk uang.
"Harus kau ingat,
Karta. Tiga minggu lagi kau harus menyiapkan tumbal untuk kujadikan
budak di kerajaanku. Bila tidak, maka kau atau isterimu yang akan
kuambali sebagai penggantinya....!"
Demikian pesan dedemit itu dengan diakhiri tawanya yang nyaring, hingga menggema ke seluruh sudut kamar.
"Iya,
hamba akan berusaha, Ndoro Puteri!" jawab Karta singkat dengan sikap
tubuh seolah sedang menghaturkan sembah sujud kepada raja.
"Bagus!
Itu artinya saat bulan purnama mendatang kau akan menyiapkan tumbal itu.
Sekarang aku akan pergi!" kata iblis penghuni alas itu sambil
menyisakan bau amis yang menyengat.
Paginya, mendung tebal bergayut
karena matahari enggan memancarkan sinarnya. Suasana jadi lembab dan
dingin. Pagi itu Karta dan isterinya sedang bermuram durja di beranda.
Saat
itu pula, pintu ruang tamu ada yang mengetuk. Siapa tamu itu? Dia
adalah Setyadi, kawan karib Karta sewaktu kecil. Mereka berpisah lebih
dari 20 tahun lantaran Setyadi dan keluarganya ikut trasmigrasi ke
Lampung.
Mereka pun bercengkerama tentang pengalamannya selama ini.
Namun, ada pengalaman pribadi Karta yang tak dibukakannya, terutama
perihal asal-usul kekayaan yang dimiliki Karta.
Tapi, lantaran
Setyadi cukup berpengalaman dalam masalah gaib, akhirnya pembicaraan
Setyadi mulai menggelitik tabir rahasia yang ditutup-tutupi Karta.
"Kang
Karta, maaf, sepertinya Akang sedang dirundung bingung. Apa yang Akang
risaukan? Padahal hidup berkecukupan." ungkap Setyadi
Yang ditanya
tersentak dari lamunannya. Pertanyaan sohibnya itu seakan menusuk relung
hati Karta, hingga membuatnya bertambah sedih. Namun, lantaran Setyadi
telah Karta anggap saudara kandung akhirnya Karta membuka rahasia
pribadinya.
"Secara lahiriah, kehidupanku berkecukupan, tapi secara
batiniah saya amat menderita," aku Karta tanpa bisa melanjutkan
kalimatnya, tenggorokannya seolah tersedak akibat memendam penyesalan
mendalam.
"Jangan kau risaukan perihal tak punya keturunan. Tuhan telah memberimu kesehatan dan kebahagiaan," potong Setyadi.
"Bukan
masalah keturunan yang aku cemaskan. Tapi masalah asal-usul harta yang
kuperoleh selama ini. Aku harap, kamu dapat menyimpan aib besar ini,"
ujar karta sambil kedua tangannya menyeka kedua matanya yang tak terasa
menitikkan butiran air bening.
"Maksud Akang?" tanya Setyadi. Bingung dan tak mengerti.
"Begini,
aku selama ini memuja Pesugihan Blorong. Aku telah menyekutukan Tuhan.
Mengingat usiaku semakin tua, ingin aku insaf untuk menjalani hidup
baru. Biar sisa hidupku akan kujalani dengan bertaubat kepada Gusti
Allah.," tutur Karta sambil lagi-lagi mengusap air matanya.
"Allah
Maha Pengampun. Meski agak sulit untuk melepaskan perjanjian-perjanjian
dengan iblis, namun atas izin Allah bila kita mau berusaha tentu akan
didapat jalan keluarnya. Aku punya kenalan paranormal. Dia bernama
Ustadz Zaelani, tinggal di Tasikmalaya. Bila Akang setuju, malam Jum'at
mendatang beliau akan kuundang," jelas Setyadi.
Karta merasa sedikit lega mendengar tawaran sahabatnya ini. Sudah barang tentu dia pun menyetujuinya.
Singkat
cerita, Ustadz Zaelani datang ke rumah Karta yang megah. Karta pun
dengan detil membeberkan perihal kekeliruannya selama ini, dengan
disaksikan Suminah dan Setyadi.
Lelaki berbaju koko dan berpeci hitam
itu menatap Karta dalam-dalam. Dia lantas berkata, "Kamu berdua masih
beruntung. Allah telah memberi rahmat dan hidayah bagi hambaNya, agar
tidak berada dalam kesesatan selamanya."
Lantas, lelaki yang
janggutnya telah memutih ini menyarankan Karta untuk segera membangun
rumah baru di kampung seberang. Rumah itu selanjutnya harus bisa
ditempati keluarga Karta sebelum perjanjian dengan dedemit siluman ular.
Petunjuk
itupun dilaksanakan Karta. Akhirnya, secara marathon rumah sederhana
itu selesai pengerjaannya. Sesuai anjuran Ustadz Zaelani, malam Selasa
Kliwon, Karta dan Suminah menempati rumah baru yang hanya berpagar
anyaman bambu itu.
Maksud Ustadz Zaelani menyuruh Karta membangun
rumah baru dan menempatinya, tak lain dan tak bukan adalah untuk
mengelabui siluman ular.
Saat pengambilan tumbul itupun akhirnya
tiba. Malam itu, alam seolah telah mengetahui akan adanya huru-hara di
kampung halaman Karta. Angin berhembus teramat kencang. Ranting
pepohonan beradu satu sama lainnya, menyuarakan simponi keeseraman.
Kepak sayap kelelawar berputar-putar seolah mengusung kekejaman, sedang
suara lolongan anjing melengking bagai jerit kematian.
Bulan dan
bintang seakan enggan menampakkan diri. Mereka bersembunyi di balik awan
hitam, seperti tak sudi menyaksikan peristiwa yang akan terjadi. Para
penduduk pun merasa lebih aman bila berada dalam rumah. Praktis kampung
itu seperti "desa mati".
Langkah selanjutnya, Ustadz Zaelani dan
Setyadi menempati rumah Karta yang lama. Setyadi berada di kamar tengah,
sedangkan Ustadz menempati kamar yang biasa digunakan ritual oleh
Karta.
Dalam kamar, Ustadz berpura-pura tidur lelap dengan ditutupi
selimut dari kepala hingga kaki. Tepat pukul 24.00 WIB, angin kencang
datang, disusul kemunculan ular besar yang masuk menerobos ruang tamu
hingga sampai ke kamar Karta.
Menyadari Karta tak menyambut
kedatangannya, ular jejadian ini berkata sambil mengibas-ngibaskan
ekornya tanda marah, "Karta, kau tak menyambut kedatanganku, heh?"
Ustadz
Zaelani yang berpura-pura sebagai Karta itu tan menjawab. Yang Anda
hanya kebisuan. melihat gelagat ini, secepat kilat ekor ular ini
menyingkap selimut.
"Bebedah kau, Karta! Kau telah mengelabuiku.
Rasakan nanti akibatnya!" pekik sang ular begitu melihat kalau ternyata
sosok di balik selimut itu bukanlah Karta. Tubuh ular itu berkelojotan,
seperti menahan sakit.
Melihat kesempatan ini Ustadz Zaelani terus
menggerakkan tasbih sambil membaca ayat-ayat suci. Ternyata Allah
mengabulkan doanya. Cahaya kemerahan mirip bola lampu turun dari angkasa
dan persis jatuh di atas bubungan rumah Karta. Apa yang terjadi?
Rumah
Karta yang lama itu terbakar. Ustadz Zaelani dan Setyadi bergegas
keluar. Sedangkan siluman itu tak dapat menyelamatkan diri karena areal
rumah itu telah dipagari secara gaib. Di tengah kobaran api terdengar
jerit kesakitan dari ular siluman yang terbakar.
"Tiba saatnya iblis
laknat itu menerima hukuman akibat perbuatannya. Allahu Akbar!" ungkap
Ustadz Zaelani yang tak pernah henti memutar tasbihnya.
Akhirnya, tubuh ular yang besarnya seperti pohon pinang itu sirna ditelan api.
Sejak
kejadian itu, Karta dan isterinya menempati rumah sederhana. Seluruh
usaha mereka pun bangkrut. Akhirnya, mereka hidup sangat sederhana.
Karena
merasa trauma berat terhadap peristiwa itu, menyebabkan Karta menderita
penyakit jantung koroner dan Suminah mengalami sakit tuberkolosis
(TBC). Sangat menyedihkan akhir nasib keduanya. Namun, sebelum ajal
merenggut mereka, keduanya kini masih berkesempatan untuk beribadat
kepada Allah SWT. Semoga, Allah mengampuni dosa-dosa yang telah mereka
perbuat.