Karena miskin dan
sering dihina, dia akhirnya menghamba kepada setan untuk mendapatkan
kesaktian. Setelah tubuhnya kebal dari terjangan senjata apapun, dia
berubah menjadi seorang yang sangat jahat. Bagaimana akhir kisah mistis
hidupnya...?
Arogansi dan kesewenang-wenangan akan membawa
kehancuran. Itulah pelajaran penting dalam kehidupan yang sering
dilupakan manusia. Sudah sering terjadi dalam sejarah, orang yang
sombong, merasa lebih tinggi derajatnya atau kedudukannya dari orang
lain, pada akhirnya justru akan jatuh dalam kehinaan yang paling rendah.
Bahkan bisa lebih fatal dari itu, yakni kematian yang sia-sia.
Kenyataan
ini pula yang menimpa Margono (bukan nama sebenarnya). Riwayat hidupnya
mungkin bisa menjadi cermin bagi kita semua, khususnya mereka yang
mendalami ilmu kesaktian dengan dalih perlindungan diri agar terhindar
dari tindak kejahatan. Karena apa yang tadinya diniatkan untuk kebaikan
bila tidak diiringi dengan sikap perilaku benar justru akan
menjerumuskan atau menyesatkan.
Misteri memperoleh cerita tentang
riwayat hidup Margono dari salah seorang kerabat dekatnya. Kebetulan
Misteri sedang berkunjung ke rumah famili di sebuah pelosok desa di luar
kota Solo, Jawa Tengah. Ketika itu, Misteri menemukan seorang laki-laki
cukup tua dikurung dalam ruangan mirip sel tahanan dengan kedua tangan
dan kaki dirantai. Dia menghabiskan sisa hidupnya di kurungan itu.
Makan, minum, dan buang air besar di tempat itu. Lelaki renta yang tak
berdaya itu tak lain adalah Margono!
Kenapa dia sampai menjalani hidup seperti binatang atau manusia tak berharga begitu?
"Dia
sudah tidak waras, suka merusak, dan mengganggu warga setempat. Padahal
dulunya dia orang yang sakti. Tubuhnya kebal dari senjata tajam dan
mampu membengkokkan sebatang besi!" Ujar Sasmito, kerabat Margono.
"Kalau dia bisa membengkokkan besi, kenapa dia tidak bisa melarikan diri?" Tanya Misteri.
"Karena dia sudah tidak bisa apa-apa. Semua kesaktian yang dimilikinya telah musnah, bahkan otak warasnya ikut musnah pula!"
"Masya Allah! Bagaimana bisa begitu, Pak?"
"Ceritanya panjang...."
Selanjutnya sang kerabat meriwayatkan perjalanan hidup Margono.
Dia
dilahirkan dalam keadaan yatim piatu dan di lingkungan keluarga miskin.
Margono tumbuh menjadi anak yang minder dan tertutup. Ayahnya sudah
meninggal saat dia masih bayi. Sementara ibunya yang janda kemudian
kawin lagi.
Margono yang waktu itu masih berusia lima tahun kemudian
diasuh oleh kakek dan neneknya. Margono hanya bisa bersekolah hingga SD
karena orangtuanya sudah tidak mampu membiayai.
Sehari-harinya, dia
membantu kakeknya menggembala ternak dan menggarap ladang. Dalam
pergaulan, Margono sering diejek, dilecehkan, dan direndahkan oleh
teman-temannya. Maklumlah, karena tubuhnya paling kurus dan hidupnya
miskin.
Dia pun tak melawan jika dipukul oleh temannya. Dia sering
dijadikan kacung atau suruhan oleh mereka. Margono menyadari dirinya
punya kekurangan dan kelemahan.
Suatu hari Margono mendengar
informasi dari temannya tentang orang pintar yang berilmu tinggi. Konon,
orang pintar itu mengajarkan ilmu kebal, pengasihan, ilmu tenaga dalam,
dan lain sebagainya.
Dia jadi tertarik untuk berguru padanya. Dia
lalu meminta ijin pada kakeknya untuk pergi menemui orang pintar itu dan
belajar ilmu padanya.
"Untuk apa kamu belajar ilmu seperti itu, Mar?" Ujar kakeknya ingin tahun.
"Untuk membekali diri, Mbah. Biar aku tidak terus direndahkan dan diremehkan orang!" Jawab Margono.
"Ingat,
Lek, kalau kamu tidak kuat, kamu nanti bisa gila. Ilmu kesaktian mesti
dipelajari dengan laku yang berat. Lagi pula kamu belum tahu, apakah
ilmu yang diajarkan orang itu tergolong ilmu hitam atau ilmu putih.
Kalau ilmu hitam, sebaiknya kamu urungkan niatmu itu. Nanti justru akan
merusak dirimu sendiri!"
Margono tak bergeming. Dia tetap pada
niatnya. Meski tanpa restu dari kakeknya, Margono pergi menemui orang
pintar yang tinggal di daerah lereng pegunungan. Rumah orang pintar yang
bernama Mbah Joyo itu hanya berupa gubuk bambu dan agak terpencil.
Dia
hidup sederhana, seperti ingin menjauhi dunia ramai. Namun demikian,
ternyata tak sedikit orang yang datang menyambanginya. Terutama pada
malam Selasa dan Jum'at Kliwon.
Mbah Joyo sering menjadi perantara
bagi orang-orang yang ingin menjalankan laku tirakat pesugihan atau
semedi di salah satu goa keramat di lereng pegunugnan itu.
Ketika Margono yang masih muda itu datang mengutarakan maksud kedatangannya, Mbah Joyo malah tertawa terkekeh-kekeh.
"Buat apa kamu ingin punya ilmu kesaktian, bocah ingusan?" Tanyanya.
"Biar
saya tidak direndahkan dan diremehkan orang, Mbah. Saya ingin kaya dan
punya kedudukan, biar dihormati orang lain!" Jawab Margono.
"Syaratnya berat! Aku yakin, kamu tak sanggup!"
"Saya sanggup, Mbah. Apapun resikonya!"
Karena
terus memaksa dan ngotot, akhirnya Mbah Joyo menyanggupinya. Dia lalu
meminta Margono tinggal beberapa waktu di tempatnya. Margono harus
menjalani beberapa laku dan tirakat untuk memasukkan ilmu gaib itu ke
dalam tubuhnya.
Sebelum memasukkan unsur gaib itu ke dalam tubuhnya,
Mbah Joyo sempat memberikan keterangan pada Margono, "Aku akan
memasukkan kekuatan jin kafir dalam tubuhmu yang akan membuat kamu
kebal, tidak mampan senjata tajam, dan mampu membengkokkan sebatang
besi. Dengan kelebihan ini kamu bisa mewujudkan keinginanmu. Tapi ingat,
ilmu ini harus kamu rawat. Setiap malam Jum'at Kliwon diberi sesaji dan
tumbal. Apakah kamu bersedia?"
"Bersedia, Mbah!" Jawab Margono,
tegas. Dia merasa tak perlu berpikir ulang lagi untuk menyanggupi
persyaratan yang diberikan Mbah Joyo, atau berusaha tahu apa efek
samping ilmu itu nantinya.
Begitulah. Setelah menjalankan laku
tirakat, ritual, dan merapalkan mantera-mantera, akhirnya Margono
dinyatakan berhasil menguasai ilmu yang diberikan Mbah Joyo.
Sebelum
keluar dari tempat pengemblengannya dan kembali ke dunia ramai, Margono
melakukan ritual menyembelih ayam cemani yang seluruh bulu dan tubuhnya
berwarna hitam.Penyembelihan itu mungkin mengandung makna sebagai bentuk
pengorbanan atau persembahan.
Margono lalu pulang ke kampung
halamannya. Tapi betapa kaget ketika sampai di rumah, dia mendapati
kenyataan pahit, kakek yang dicintainya meninggal dunia. Kematian
kakeknya pun terkesan misterius dan mendadak. Menurut cerita, orangtua
itu diketahui sedang menyabit rumput di tegalan. Entah bagaimana
kejadiannya orang-orang sudah menemukan dia dalam keadaan tergeletak di
bawah pohon dengan sabit masih menancap di lehernya. Ada kemungkinan dia
naik ke atas pohon dan jatuh. Saat terjatuh itu tanpa sengaja sabit
yang dipegangnya menancap di leher.
Tapi bagi Margono yang melihatnya
seolah tak ada yang aneh. Dia teringat dengan ayam cemani yang
disembelih dan diminum darahnya pagi tadi. Sepertinya kematian ayam
cemani itu menyerupai kematian kakeknya. Mungkin ini isyarat tumbal
seperti yang dikatakan Mbah Joyo. Kematian kakeknya tak lain merupakan
tumbal yang menjadi persembahannya.
Hati Margono seperti
tercabik-cabik rasanya, tapi dia berusaha menekannya. Dia menepis rasa
bersalah. Toh, kakeknya sudah cukup tua dan pantas mati, batinnya
menenangkan diri.
Selanjutnya Margono menjalani hidupnya yang baru.
Kini dia bukan lagi Margono yang lemah, tak berdaya, dan cengeng. Dia
berubah menjadi Margono yang pemberani dan tangguh. Jika ada orang yang
meremehkan dan merendahkannya, dia tidak akan tinggal diam. Dia akan
menantang orang itu berkelahi, bahkan memintanya untuk memakai senjata
tajam sementara dirinya hanya tangan kosong.
Suatu ketika, terjadi
perselihan antara Margono dengan sekelompok pemuda desa. Margono
langsung menantang perang tanding. Tantangan ini langsung ditanggapi
oleg gerombolan pemuda itu. Namun, saat mereka menyerangnya dengan
pukulan, tendangan, dan sabetan clurit, Margono diam saja. Dia
membiarkan tubuhnya jadi bulan-bulanan. Tapi ajaib, kulit Margono tidak
tergores atau terluka sedikitpun. Malah tangan orang-orang yang
memukulnya menjadi kesakitan.
Melihat Margono tak mempan dibacok dan
ditembus senjata tajam, kontan para pemuda itu merendahkan diri di depan
Margono dan memohon ampunan. Margono tertawa penuh kemenangan.
Merasa
di atas angin, Margono meminta mereka mencium kakinya dan menjilatinya.
Jika tidak mau, dia mengancam akan membunuh mereka. Bak anjing yang
setia pada majikannya, mereka pun menurut saja menciumi dan menjilati
kaki Margono.
Puas telah berhasil merendahkan orang-orang yang pernah
merendahkan dan mengejeknya, Margono lalu memeras dan memanfaatkan
mereka. Dia merekrut para pemuda berandalan untuk dijadikan anak
buahnya. Mereka dipaksa mencuri, merampok, dan merampas harta benda
orang lain.
Sepak terjang Margono sebagai bandit sekaligus pemimpin
preman langsung mencuat. Dia sering menebar teror di tengah masyarakat.
Bersama dengan para anak buahnya, Margono melakukan berbagai tindak
kejahatan.
Uang hasil kejahatan digunakan untuk berfoya-foya,
minum-minuman keras, dan main perempuan. Margono sendiri seperti tidak
takut dengan perilaku kejahatannya yang bisa membawanya berurusan dengan
hukum. Bahkan dengan terang-terangan dia pernah menantang petugas
keamanan.
"Aku tidak takut sama polisi! Ayo, mana polisi yang berani
menangkap ku? Mana polisi yang berani menembakku?!" Ujarnya dengan nada
penuh kesombongan.
Suatu ketika ada petugas polisi sektor setempat
yang mendengar ucapan Margono dan merasa tertantang. Dia pun diam-diam
ingin meringkus Margono. Kebetulan dia mengetahui tempat Margono dan
teman-temannya sering bermain judi serta minum-minuman keras.
Dengan
penuh rasa percaya diri, petugas itu menggerebek Margono Cs. sambil
menodongkan pistolnya. Tapi Margono tampak tenang saja.
"Ayo, tembak aku kalau berani!" Tantangnya.
Terpancing
emosi, polisi itu pun langsung menembak kaki Margono sesuai prosedur.
Tapi apa yang terjadi? Bukannya merintih kesakitan atau terjatuh,
Margono malah tertawa geli. Dia lalu memperlihatkan bekas tembakan
peluru yang ternyata hanya merobek kain celana tanpa menggores kulitnya.
Wajah
polilsi itu jadi pucat pasi dan gemetar. Selanjutnya kejadian berbalik,
polisi itu yang kemudian dihajar beramai-ramai oleh Margono dan anak
buahnya. Dia diancam jika sampai mengganggu geng Margono akan dibunuh.
Begitulah.
Para petugas pun ngeri berhadapan dengan gerombolan Margono. Mereka
tidak pernah punya bukti untuk mengungkap kejahatan Margono agar bisa
menangkapnya. Karena dalam menjalankan aksi kejahatannya, Margono begitu
licin dan tak terdeksi.
Meski semua orang tahu bahwa pekerjaan
Margono suka merampok dan mencuri, dan semua kekayaan dan rumah mewah
yang dimilikinya adalah hasil kejahatan, tapi tak ada yang bisa
membuktikan dan menangkap basah perbuatannya. Konon, dalam menjalankan
aksinya, Margono menggunakan ajian atau ilmu gaib yang tidak
memungkinkan terlihat oleh orang biasa.
Telah banyak orang atau
kelompok masyarakat yang menjadi korban kesewenang-wenangan dan
kejahatan Margono. Hal ini kemudian memunculkan inisiatif dari seorang
tokoh masyarakat untuk meminta bantuan orang pintar. Dia menemui seorang
Kyai di luar daerah yang berilmu tinggi. Menurutnya, kejahatan Margono
yang dilakukan dengan menggunakan kekuatan ilmu hitam hanya bisa
dihentikan dengan kekuatan ilmu putih. Hanya saja, yang menjadi masalah
bagaimana melawan kemampuan ilmu kebal yang dimiliki Margono.
"Setiap
orang punya kelemahan dan kekurangan pada dirinya. Tidak ada orang yang
paling sakti dan ampuh di dunia ini. Yang paling tinggi ilmunya
hanyalah Allah SWT. Yang dilakukan orang-orang seperti Margono hanyalah
mengandalkan salah satu kemampuannya untuk mengesankan bahwa dirinya
sangat kuat dan tak terkalahkan!" Demikian keterangan Pak Kyai.
"Jadi apa yang harus kami lakukan, Pak Kyai?"
"Beri saya waktu untuk meneropong secara batin kekuatan tersembunyi yang dimiliki Margono sekaligus titik kelemahannya!"
Pak
Kyai itu lalu melakukan ritual khusus di ruang sembahyangnya. Untuk
beberapa lama Pak Kyai bertafakur tanpa ada seorang pun boleh
mengganggunya. Setelah selesai dengan ritualnya, beliau kembali keluar
menemui tamunya.
"Insya Allah, saya tahu kelemahan dari saudara
Margono. Ilmu kebal yang dimilikinya akan sirna bila dipukul dengan daun
kelor sambil membacakan doa-doa tertentu!" Ujar Pak Kyai.
"Kami pernah mencoba memukul dengan daun kelor, tapi tak mempan?"
"Dipukul pada tengkuknya, karena disanalah letak simpul syaraf yang menghubungkan antara syaraf otak dan syaraf bagian tubuh!"
"Kalau begitu cepat kita lakukan saja, Pak Kyai, sebelum kejahatan Margono semakin merajela!"
"Sebentar!
Kita tidak boleh gegabah dalam mengambil tindakan. Saya tahu, Margono
orang jahat dan sesat. Tapi sebelum mengambil tindakan keras padanya,
kita perlu mengajaknya secara baik-baik untuk kembali pada jalan lurus.
Mudah-mudahan, dengan cara halus kita bisa membawanya kembali pada jalan
kebenaran!"
Apa yang dikatakan Pak Kyai benar. Kejahatan tidak harus
dilawan dengan kekarasan. Maka, diantar oleh tamunya itu Pak Kyai
tersebut menemui Margono. Dengan terus terang Pak Kyai mengutarakan
maksud kedatangannya.
"Ingat, Nak Margono. Yang namanya perbuatan
jahat kelak akan dihisab oleh Allah SWT dan akan mendapatkan
ganjarannya. Sebelum segalanya terlambat, lebih baik Nak Margono
tertobat dan kembali ke jalan benar. Insya Allah, jika Nak Margono
bertobat nasuha segala dosa-dosa yang lalu akan diampuni Allah.
Percayalah!" Demikian ajakan Pak Kyai.
Tapi ajakan kebaikan itu
ditampik keras oleh Margono. Bahkan dengan kasar dia mengusir Pak Kyai.
Dia mendorong tubuh Pak Kyai agar keluar dari rumahnya. Pak Kyai tak
melawan. Hal ini membuat Margono semakin beringas. Dia menghajar Pak
Kyai di hadapan orang-orang. Pada saat mendapat kesempatan, Pak Kyai
tidak tinggal diam. Dia mengambil ranting daun kelor yang telah
dipersiapkan dan membacakan doa-doa.
Sambil mengucapkan Astagfirullah
dia lalu menyabetkan ranting daun kelor itu ke tengkuk Margono.
Laki-laki bejat itu sempat menjerit kesaktian sebelum kemudian ambruk
tak sadarkan diri.
Hampir selama dua hari Margono pingsan. Ketika
siuman, keadaannya sudah berubah sertaus delapan puluh derajat. Dia
menjadi lupa ingatan dan hilang seluruh kekuatan ilmu kesaktian pada
dirinya.
Pak Kyai sudah berusaha meruqiahnya agar bisa dikembalikan
dalam keadaan normal, tapi beliau tak sanggup. Jiwa Margono sudah
terlanjur rusak oleh perbuatan jin kafir.
Begitulah. Margono akhirnya
berubah menjadi tidak waras. Oleh kerabatnya dia diperlihara dan
dirawat. Tapi karena sering membahayakan orang lain, dia dikurung
seperti binatang. Kabar terakhir yang di dengar, dia sudah meninggal
dalam keaadaan gantung diri! Naudzubillahi minzalik !