Setelah mengadakan
ritual, Husni mendapatkan kaki raja jin. Kaki inilah yang menuntunnya
menemukan sekotak harta karun, hingga membuatnya kaya raya. Namun,
karena Husni tidak bisa memenuhi janjinya, maka nyawanya sendiri yang
harus menjadi tumbal. Bagaimana kisah mistis selengkapnya? Mulyono,
salah seorang kerabat dekat Husni, menuturkan rentetan peristiwa mistis
itu ….
Malam itu, lebih dari empat jam lamanya Husni duduk
bersila di bawah pohon beringin tua yang terletak di bagian barat
tempat pemakaman umum (TPU) Desa Ranca Kalong. Asap dupa dan kemenyan
yang dibakar masih terlihat mengepul, menyebarkan aroma menyengat ke
seantero tempat itu.
Keadaan begitu sunyi. Suara jangkrik dan
belalang yang saling bersahutan menambah keseraman suasana. Terlebih
dahulu lolongan anjing di kejauhan sesekali terdengar melengking, bagai
jerit malaikat kematian.
Gerimis turun renyai-renyai, sementara udara
semakin dingin menggigit tulang sum-sum. Namun, seolah tidak lagi
merasakan dinginnya udara yang menusuk tulang, mulut Husni terus saja
terlihat berkomat-kamit membaca mantera-mantera yang diperolehnya dari
Ki Ireng Legono, dukun sakti aliran hitam yang bermukim di Bukit
Tengkorak. Bunyi mantera yang dibaca itu sesekali terdengar lirih, namun
tak jarang pula terdengar keras. Sesekali pula disertai getaran tubuh
Husni yang begitu keras, bagai orang menggigil terserang demam. Dan
bersamaan dengan getaran tubuhnya, asap tebal langsung mengepul dari
dalam pendupaan yang terletak di hadapan Husni.
Saat jarum jam tepat
menunjukkan pukul setengah dua dinihari sesuatu yang aneh mendadak
terjadi. Bersamaan dengan mengepulnya asap dan getaran tubuh Husni yang
semakin menghebat, maka keluarlah seberkas cahaya kemerahan dari dalam
pendupaan itu. Cahaya aneh ini menembus kepulan asap kemenyan yang
melayang-layang di udara. Selanjutnya, setelah cahaya kemerahan itu
mulai memudar, muncullah sosok mahkluk tinggi besar dengan wajah yang
menyeramkan. Makhluk ini berdiri tegak persis di hadapan Husni.
Kedua
mata mahkluk itu berwarna merah menyala, sementara dua pasang gigi
taring yang berukuran besar tampak menyembul di antara sela-sela
mulutnya yang semarah darah itu. Noda-noda merah seperti bekas darah
memang terlihat menghiasi sepasang gigi taring itu. Suara geramannya
terdengar sangat menyeramkan, bahkan nyaris menghentikan alirah darah di
sekujur tubuh Husni.
“Grrrr...! Siapa kau hai manusia? Berani sekali
kau mengganggu istirahatku. Apa yang kau inginkan dariku?” tanya
mahkluk yang tak lain adalah gendruwo penguasa pohon beringin tua yang
ada di areal pemakaman tua itu.
“A...ampun, Mbah. S…sa…sa…saya
Hus…Husni, Mbah. S…saya mau minta bantuan, Mbah,” ucap Pak Husni dengan
mulut dan tubuh gemetar. Begitu takutnya dia hingga suaranya hamper saja
tak bisa melewati kerongkongannya.
“Bantuan apa yang kau butuhkan, hai manusia?” tanya mahkluk itu lagi.
“Saya
ingin jadi orang kaya, Mbah. Kata Ki Ireng Legono, Mbah bisa menolong
saya untuk menjadi kaya,” jawab laki-laki setengah baya itu.
Gendruwo
itu tidak segera menjawab. Mahkluk menyeramkan itu hanya tertawa
terbahak-bahak dengan suara yang memekakkan telinga, sambil memamerkan
deretan gigi taringnya yang menyeramkan. “Ha...ha...ha...ha...ha...!”
suara tawa itu terdengar menggema, dan seakan membuat bumi bergetar.
Melihat
hal ini Husni hanya bisa tertunduk sambil berusaha menekan perasaannya.
Ketakutan semakin hebat menyelimuti hatinya, hingga keringat dingin
tanpa terasa mengalir deras membasahi seluruh tubuhnya. Namun karena
keinginannya untuk bisa segera menjadi orang kaya begitu kuat dalam
hatinya, lelaki bertubuh sedang ini pun memberanikan diri untuk kembali
bertanya pada gendruwo itu.
“Ba...bagaimana, Mbah? Apa betul Mbah
bisa membantu saya menjadi orang kaya?” suara Husni terdengar gemetarm
seperti juga tubuhnya yang gemetaran seperti terserang demam.
“Itu soal mudah, yang penting kau bisa menyediakan kesukaanku,” jawab sang gendruwo dengan suara yang lebih ramah.
“Apa sajakah itu, Mbah?” tanya Husni lagi.
“Setiap
malam Jumat kamu harus selalu menyediakan kemenyan, kembang telon,
serta candu. Letakkan benda-benda itu tepat di bawah pohon beringin
ini. Ingat, harus kau letakkan tepat pada tengah malam. Kalau kamu bisa
memenuhinya semua kesukaanku itu, maka kamu akan aku beri ini….” ucap
si gendruwo sembari menunjukkan sebuah potongan kaki berukuran kecil
yang terbuat dari emas.
Husni terkejut dan langsung keheranan
mendapatkan benda mirip sepotong kaki yang terbuat dari emas itu. Dia
merasa ragu, apakah mungkin benda kecil itu akan mampu merubahnya
menjadi orang yang kaya raya? Lantas, bagaimana caranya?
“Dengan
benda ini kamu akan bisa jadi kaya raya. Karena benda ini akan selalu
menuntunmu ke berbagai tempat yang memungkinkan kamu bisa mendapatkan
banyak uang,” lanjut si genderuwo seolah mengetahui keraguan dalam hati
calon budaknya.
“Benda apa itu, Mbah. Lalu, apakah syaratnya memang cuma itu?” Tanya Husni lagi.
Genderuwo
itu kembali menggeram. “Benda itu namanya Kaki Jin. Hanya itu yang bisa
kuberi tahu. Ingat, disamping permintaanku tadi, tiap tiga purnama
sekali kamu harus menyediakan sepotong kaki kiri manusia sebagai
pelengkap syarat yang harus kamu sediakan pada tiap malam Jumat. Kamu
bebas mencari kaki siapa saja yang akan kamu persembahkan. Kamu bisa
mencurinya dari makam ataupun membunuh orang secara langsung dan
mengambil kakinya. Yang penting benda itu harus ada pada waktu yang
ditentukan. Karena kalau tidak, maka kakimu sendiri yang akan jadi
gantinya,” jelasnya.
Mendengar penjelasan itu Husni terdiam beberapa
saat lamanya. Sepertinya dia merasa ragu untuk memenuhi permintaah si
genderuwo yang amat menyeramkan baginya. Ya, bagaimana mungkin Husni
akan sanggup menyediakan sesajen berupa potongan kaki manusia, sedangkan
memotong kaki ayam saja dia selalu ketakutan? Lalu, bagaimana dia bisa
memperoleh potongan kaki itu? Hih, menyeramkan sekali!
Di saat yang
genting itu Husni berpikir keras untuk mempertimbangkan untung rugi yang
akan dihadapinya. Namun, demi terbayang segala kesusahan hidup dan
hinaan yang selama ini dia terima bersama anak dan isterinya, akibat
dari kemiskinan yang dideritanya, maka bayangan mengerikan itu
sepertinya begitu saja sirna.
Ya, semuanya memang terasa begitu
pahit. Husni tak ingin anak dan isterinya terus menjadi bahan hinaan.
Karena itu dia harus melewati tentangan sepahit apapun asal keinginannya
menjadi orang kaya dapat segera terwujud.
Mendadak keraguan dan
kengerian itu hilang. Buktinya, tak berapa lama kemudian, mimik wajah
Husni yang sebelumnya terlihat tegang, berubah menjadi sedikit tenang,
bahkan nampak ceria. Sepertinya dia telah menentukan sikap, dan yang
pasti dia telah menerima syarat yang diajukan oleh si gendruwo laknat.
“Baiklah,
saya bersedia memenuhi persyaratan itu, Mbah. Yang penting saya bisa
segera menjadi orang kaya. Saya sudah tidak kuat lagi menjadi orang
miskin, apalagi sekarang hutang saya sudah sangat banyak, dan anak
isteri saya sudah tak kuat menderita,” ungkap Husni, setengah menghiba.
“Ha...ha...ha...ha...!”
gendruwo itu kembali tertawa terbahak-bahak. Namun kali ini tidak
terlalu panjang, karena sejurus kemudian dia menghentikan tawanya dan
menyerahkan potongan kaki emas yang dibawanya itu kepada Husni. Dia
sepertinya sangat bangga karena sudah berhasil memperdaya seorang anak
cucu Adam.
Dengan mata berbinar namun tetap dengan tubuh gemetaran,
Husni menerima pemberian kaki emas itu. Begitu benda berukuran sebesar
kaki bayi tersebut telah berpindah ke tangannya, Husni langsung menciumi
benda itu. Namun kegembiaraannya tak berlangsung lama, karena sang
gendruwo kembali berbicara untuk mengingatkan syarat yang harus dipenuhi
oleh Husni sebegai konpensasi dari perjanjian gaib yang mereka lakukan.
“Ingat,
Husni! Sekalipun kau tak boleh melewatkan janjimu terhadapku. Kalau kau
sampai lalai, maka kau sendiri yang jadi taruhannya. Camkan itu
baik-baik, Husni!”
“Baik, Mbah! Saya berjanji akan selalu menepatinya!” jawab Husni, penuh keyakinan.
Genderuwo
itu kembali tertawa senang. Setelah itu, dalam sekejap mata, dia
menghilang bagai ditelan bumi. Kini yang terlihat hanya batang pohon
beringin yang menjulang tinggi bagai menembus awang-awang yang terlihat
sangat angker.
Setelah genderuwo itu pergi, Husni pun berniat untuk
segera pergi dari tempat itu. Namun, sebelum dia sempat berdiri dari
tempatnya duduk bersila tadi, tiba-tiba terdengar suara sang gendruwo
terdengar kembali. Sepertinya, ada hal lain yang lupa diingatkannya
kedapa Husni.
“Simpan baik-baik Kaki Jin itu, bungkus dengan kain
putih bersih serta berikan selalu sesaji kembang setaman di sampingnya!”
demikian kata suara gaib itu.
“Baik, Mbah!” jawab Husni
Setelah
celingukkan ke sana-sini dan merasa yakin tak ada seorang pun yang ikut
menyaksikan ritual yang dilakukannya, maka dia pun segera berdiri dan
bergegas meninggalkan tempat itu.
Aneh, keesokkan harinya setelah
mendapatkan potongan benda mirip kaki terbuat dari emas yang disebut
sebagai Kaki Jin itu, saat Husni sedang menggarap sawah milik Pak Kades,
tiba-tiba dia seperti merasa ada yang menyapa dan mengajaknya pergi.
Padahal, beberapa orang temannya yang lain ketika sama sama sekali tidak
melihat apa-apa. Umumnya, mereka hanya melihat kalau Husni yang semula
asyik mencangkul itu tiba-tiba berhenti, kemudian pergi sambil memanggil
cangkulnya.
Hal itu masuk akal, karena pada dasarnya seseorang yang
mengajak Husni pergi adalah sosok makhluk gaib yang akan menunjukkan
tempat di mana Husni bisa mendapatkan harta sebanyak mungkin.
Dan
memang benar, Makhluk yang berwujud seorang pemuda tampan itu mengajak
Husni pergi ke pinggir hutan. Di sana Husni yang masih membawa cangkul
disuruh untuk menggali tempat yang dipijaknya.
Husni pun segera
menggali dengan cekatan. Tak berapa lama kemudian terlihatlah sebuah
kotak yang ketika diangkat ternyata sebuah peti. Betapa terkejutnya
Husni manakala peti itu dibuka, di dalamnya berisi setumpuk perhiasan
emas dengan berbagai bentuk. Maka seketika itu juga langsung Husni
berteriak, “Aku kaya! Ha…ha…ha…aku kaya!”
***
Waktu terus
berjalan. Tepat tujuh bulan sudah Husni yang sebelumnya tergolong orang
sangat miskin itu, kini telah berubah menjadi orang kaya raya. Hanya
saja kali ini masalah sedang dihadapi oleh orang kaya baru itu. Tepat
pada hari di mana dia harus menyediakan sepotong kaki manusia sebagai
sesaji untuk gendruwo, dia justru menderita sakit parah yang membuatnya
tidak mampu bangun. Karena itulah kegelisahaan selalu tampak pada raut
wajahnya.
Malam harinya, kegelisahan itu semakin menghimpit, karena
tepat pada tengah malam nanti sesaji itu harus diberikan. Padahal dia
sudah punya rencana akan membongkar kuburan Sunardi yang baru meninggal
tiga hari yang lalu untuk mengambil kakinya kirinya sebagai sesaji,
seperti yang pernah dilakukannya pada kuburan Mbah Tinem tiga bulan
lalu. Namun kondisi kesehatannya tidak memungkinkannya untuk bisa
bangun. Ya, dia tak mungkin bisa beranjak meninggalkan tempat tidurnya
untuk pergi ke areal pemakanan dan membongkar kuburan Sunardi, lali
memotong kaki kirinya. Asmanya tiba-tiba kumat. Hisuni harus membungkus
tubuhnya rapat-rapat dengan kain selimut. Kalau dia nekad pergi, pasti
dia akan mati di tengah jalan akibat kedinginan dan kehabisan nafas.
Kekhawatiran
itu pun akhirnya menjadi kenyataan. Tepat saat jam dinding berdentang
sebanyak dua belas kali, bersamaan dengan itu tiba-tiba terasa ada
hembusan angin kencang menembus jendela kamar tidur Husni. Sesaat
kemudian di depannya telah berdiri sang gendruwo penghuni pohon beringin
yang tempo hari memberinya benda gaib yang disebut sebagai Kaki Jin.
Gendruwo itu telah mengingatkan Husni bahwa saat itu dia akan meminta
tumbal yang harus disediakan olah budaknya. Namun karena tumbal itu
tidak ada, maka kaki Husni pun harus segera dicabut sesuai dengan janji
yang telah mereka sepakati.
Dan…Husni hanya bisa menjerit histeris
saat kaki kirinya terlepas dari tubuhnya, akibat ditarik dengan sangat
kuat oleh makhluk halus laknat itu. Sesaat kemudian dia langsung
pingsan. Namun, karena darah yang keluar begitu banyak, akhirnya nyawa
lelaki malang ini tidak tertolong lagi. Husni mati secara mengenaskan.
Sebelah kakinya raib entah ke mana. Tak ada seorang pun tahu, termasuk
juga Warsinah, isterinya, yang malam itu sempat melihat suaminya
tenggelam dalam genangan darah akibat kaki kirinya yang tercabut secara
misterius.
Demikianlah kisah yang dituturkan oleh Mulyono. Dia
mengaku bisa menggambarkan kisah ini sebab tiga hari sebelum kematian
menjemputnya, Husni sempat bercerita padanya tentang ritual sesat yang
telah dilakukannya. Kepada Mulyono, Husni mengaku menyesal telah
melakukan kesesatan ini, namun dia tak tahu cara untuk lari dari
perjanjian gaib yang telah dilakukannya.
Semoga kisah mistis yang
dialami oleh Husni dapat kita jadikan pelajaran bahwa mengharap kekayaan
dari makhluk halus dunia hitam, pada akhirnya hanya akan menimbulkan
kesengsaraan dunia akhirat bagi kita. Karena itu, jangan sekali-kali
terjerat dalam urusan yang satu ini.