Di wilayah Kec.
Sumber, Kab. Cirebon, beberapa waktu lalu sempat gempar. Penduduk di
pantai utara Jawa Barat itu gempar lantaran ada salah seorang warga
disana yang mengalami peristiwa sangat mistis....
Selain
aneh, peristiwa tersebut sangat menyedihkan sekaligus menyakitkan.
Siapapun yang menyaksikannya, pasti menitikkan air mata, dan tak sanggup
membayangkan betapa beratnya penderitaan yang dijalaninya.
Seorang
isteri juraga rotan, kedapatan mengalami penyakit yang susah untuk
dideteksi secara medis. Dokter yang didatangkan bukan saja dari Cirebon,
bahkan ada yang sengaja didatangkan dari Bandung maupun Jakarta. Namun,
hasilnya sangat tidak memuaskan. Alat vital wanita paruh baya itu tetap
mengeluarkan nanah kental tiap tengah malam hingga siang bolong.
Akibatnya,
alat vital yang mestinya jadi mahkota kebanggan wanita dan digandrungi
pria itu, terpaksa tidak berharga sama sekali. Bau yang keluar
benar-benar busuk. Bahkan baunya menyebar dalam radius belasan meter.
Terdorong
rasa penasaran yang teramat kuat, suatu malam Penulis secara diam-diam
menyambangi rumah megah yang mulai tak terurus itu. Rumah yang berada
tidak jauh dari jalan raya itu memang terlihat muram kehilangan nilai
artistiknya. Selain cat temboknya sudah mengelupas disana-sini, plafon
yang terbuat dari kenwoods juga sudah jebol di beberapa bagian. Di
halaman depan maupun halaman serambi, rumput sudah membelukar.
Begitu
pula sebagian ranting pohon belimbing bangkok sudah menerobos ke lubang
ventilasi jendela. Pernak-perniknya juga sudah terpatah-patah dan
banyak yang rontok, juga tidak ada lagi perabotan luks di dalamnya.
Ternyata,
selain dikarenakan bangkrutnya bisnis rotan sebagai imbas peraturan
pemerintah tentang syarat-syarat ekspor rontan ke luar negeri, sisa
modal yang ada tersedot juga buat ikhtiar pengobatan sang isteri. Kini,
suami-isteri tanpa keturunan itu hidup dari utang disana-sini, sehingga
tak mampu lagi untuk beli cat tembok.
Ketika Penulis tiba di rumah
megah namun kumuh itu, si wanita malang sudah dalam proses pemulihan.
Nanah kentalnya sudah tidak keluar lagi dan tak tercium bau busuk dari
balik pakaian yang dikenakan.
Namun, tubuh Ny. Ratinah, 45 tahun,
sangat menyedihkan. Tubuh yang dulu padat berisi itu kini layaknya sosok
jerangkong hidup. Ya, hanya menyisakan tulang terbungkus kulit.
Kecantikan wajahnya seperti yang tampak pada foto di figura samping
buffet, sudah tak tersisa sama sekali. Tulang-tulang pipinya bertonjolan
dengan tatapan mata sangat menyedihkan. Wajah itu masih menyimpan
sisa-sisa penderitaan teramat pahit selama hampir dua tahun. Sebuah
rentang waktu sangat menjemukan serta membuat alas berubah gelap.
Yang
patut untuk dijadikan pelajaran, di tengah situasi sulit yang
berlarut-larut, Ratinah tetap tabah bahkan sangat pasrah. Tak pernah
terlintas sekalipun dalam benaknya untuk menempuh jalan pintas yang
sesat.
Sebagai mantan santri dari salah sebuah pesantren puteri
terkemuka di Kabupaten Cirebon, Ratinah yakin sekali kalau penderitaan
yang dialaminya itu bakal mendapatkan pahala dari Allah SWT yang bakal
dipetik di akherat kelak. Sehingga, ketika diminta menceritakan kembali
kesengsaraannya sebagai korban santet, Ratinah berkali-kali menolak.
Tapi, setelah dipastikan bakal dijaga kerahasiaan identitas diri dan
keluarganya serta identigas orang yang berbuat jahat padatnya, Ratinah
maupun Imron, 47 tahun, sang suami, berangsur-angsur memahaminya dan
bersedia untuk mem-flashback sampai kepada hal-hal kecil yang pernah
dialaminya.
"Sedikitpun tak menyangka, di era yang serba modern ini,
ternyata masih ada orang yang menggunakan santet untuk mencelakai sesama
manusia," Ratinah memulai kisahnya.
Penderitaan yang dialaminya
selama hampir dua tahun ini, sangat sulit untuk digambarkan. Dia yakin,
semenjak terlahir di alam fana ini sampai umurnya yang sudah kepala
empat, belum pernah mengalami penderitaan seberat itu.
Penyakit aneh
yang disebabkan serangan santet itu, berawal dari usaha rotan yang
dilakoni Imron. Memang, wilayah kecamatan Sumber, Kabupaten Cirebon,
sudah lebih dari dua dasawarsa dinobatkan sebagai sentra bisnis rotan
terbesar di Jawa Barat. Dan Imron adalah salah seorang pengusaha rotan
yang cukup diperhitungkan.
Sejak era tahun 1990-an, perusahaan rotan
milik Imron sudah merekrut lima karyawan tetap, dan sepuluh karyawan
magang. Mereka bekerja mulai pagi hingga menjelang waktu Isya. Modal
awal dia peroleh dari perbankan, dan secara bertahap, mengurangi
pinjaman modal perbankan itu sampai akhirnya tinggal landas sekitar
tahun 1995.
Dengan seratus persen modal sendiri, secara otomatis,
laba bersih yang diraup per bulannya jauh lebih besar, karena tidak ada
kewajiban buat bayar bunga bank. Seiring itu pula, jumlah karyawan tetap
bertambah setiap periodiknya.
Mekanisme usaha yang diterapkan Imron
sangat sederhana. Menetapkan status karyawan pun sangat ringkas, dimulai
dari karyawan lepas dan karyawan tetap. Karyawan magang yang sudah
bekerja dalam rentang waktu tertentu, dianggap punya dedikasi tinggi
serta loyalitasnya terhadap perusahaan sangat kental, maka secara
otomatis direkrut menjadi karyawan tetap.
Karyawan tetap itupun, bagi
yang berdedikasi tinggi dan loyalitasnya kental, akan dinaikan
statusnya ke bagian pemasaran. Tiap-tiap kenaikkan status ini berkaitan
sekali dengan nilai upah dan tunjangan serta fasilitas lainnya.
Sam,
40 tahun, di mata Imron punya nilai lebih dibanding karyawan tetap
lainnya. Pria beranak dua asal Jatibarang, Indramaya ini tercatat
sebagai karyawan tetap yang punya masa kerja paling lama.
Disamping
itu, Sam punya dedikasi tinggi serta sangat loyal, ditambah pendidikan
formalnya yang lumayan bagus yaitu diploma tiga. Dikarenakan sudah
memenuhi seluruh komponen yang disyaratkan, sejak 1995, Sam dinaikkan
statusnya menjadi karyawan bagian pemasaran bersama-sama dua karyawan
bagian pemasaran yang sudah lebih dulu ada yaitu Iwan, 46 tahun, dan
Jajang, 42 tahun.
Mulai triwulan pertama, Sam kebagian tugas mengawal
pengiriman rotan hingga ke pengepul besar atau perusahaan eksportir di
Jakarta. Tugas tersebut terus dirolling secara periodik. Iwan bertugas
mengurus surat-surat berkaitan proses ekspor ke Eropa, sedangkan Jajang
bertugas juru tagih ke pihak perusahaan eksportir.
"Sampai tahun
kedua, saya merasa sangat puas dengan cara kerja Sam dan dua karyawan
pemasaran lainnya. Tapi bertepatan dengan meletusnya reformasi dalam
upaya menurunkan Soeharto sebagai presiden, sedikit demi sedikit ada
suara-suara sumbang yang masuk ke telinga. Suara sumbang itu tertuju
kepada kinerja Sam," kenang Imron.
Pada awalnya, suara-suara sumbang
itu hanya dianggap sentimen biasa di lingkungan sesama karyawan. Apalagi
suara sumbang yang paling santer justru ditiupkan Jajang yang notabene
rival Sam.
Jajang mengaku kepada Imron, suatu waktu pernah "menjebak"
Imron. Dalam perjalanan ke Jakarta, setibanya di Jatibarang secara
disengaja Jajang membelokkan Toyota Kijang yang dikemudikannya memasuki
sebuah gang dan berhenti di depan rumah besar yang baru selesai
dibangun.
Sambil tetap duduk dibalik kemudi dan hanya sedikit
menurunkan kaca jendela kemudi di sampingnya, Jajang menjelaskan kepada
Imron kalau rumah besar itu milik Sam. Padahal rumahnya yang dulu berada
di pinggir tanggul sungai Cimanuk.
Meski sudah menyaksikan dengan
mata sendiri, namun Imron berusaha untuk tetap berbaik sangka. Dalam
pikirannya, mungkin Sam mampu membangun rumah sebesar itu berkat
kemampuannya mengatur gaji yang diterima dari perusahaan. Atau mungkin,
uangnya sebagian didapat dari menjual tanah warisan. Imron tidak pernah
tahu apakah Sam punya warisan atau tidak, yang dia tahu Sam adalah
karyawan bagian pemasaran yang ulet dan lincah.
Pada saat yang lain,
pagi-pagi sekali Iwan sudah mengetuk pintu rumah Imron. Dengan tingkah
yang gelisah dan tegang, Iwam menyampaikan laporan kepada bosnya. Sudah
dua kali pengiriman, Sam melaporkan kepada Iwan kalau kendaraannya
dijarah massa di Jakarta.
Secara kebetulan, dari tahun 1997 hingga
1998, pemberitaan media audiovisual dilaporkan aksi kerusuhan disertai
penjarahan oleh ribuan massa di Jakarta. Atas dasar itulah Imron tidak
terlalu memikirkan laporan Iwan mengenai Sam. Di mata Imron, sampai saat
itu Sam masih dianggap bersih.
Bukan itu saja, setiap saat Iwan
mengeluhkan terjadinya ketidak-cocokan antara faktur penerimaan dari
petugas checker di perusahaan eksportir di Jakarta dengan data tonase
yang tertera dalam surat jalan dari karyawan bagian produksi di
perusahaan Imron.
Laporan Iwan kali ini cukup menyita perhatian
Imron. Apalagi karyawan bagian produksi yang melakukan penimbangan
sebelum dinaikkan ke atas truk bersikeras mencantumkan angka pada surat
jalan sesuai dengan tonasenya.
Namun muncul dalam pemikiran Imron,
tentang adanya konspirasi atau tepatnya persengkongkolan antara karyawan
bagian produksi dengan Iwan dalam upaya menggulingkan Sam.
Kali
inipun Sam masih tetap bersih di mata Imron. Tapi ibarat pepatah kuno,
sepandai-pandainya tupai melompat suatu saat pasti jatuh juga.
Demikianlah yang terjadi pada diri Sam.
"Di akhir tahun 1999, tanpa diduga, datang seorang tamu mengaku karyawan perusahaan eksportir rotan dari Jakarta," kata Imron.
Karyawan
yang namanya dirahasiakan itu, tanpa basa-basi lagi mengajak Imron
untuk kerjasama usaha rotan untuk tujuan Amerika Serikat. Harga yang
ditawarkannya sedikit lebih tinggi dari harga yang sudah disepakati
dalam kontrak kerja sama atau MoU dengan perusahaan eksportir rotan yang
sudah bermitra.
Bagi Imron harga yang lebih tinggi bukan sesuatu
yang mengejutkan. Sesuai strategi bisnis, hal itu sangat layak
dilakukan. Tapi, setelah kerjasama berlangsung, harga yang ditetapkan
bisa saja lebih rendah dari harga yang ditetapkan eksportir yang dulu.
Tetapi
ketika mendengar ucapan karyawan itu berikutnya, seperti ada tamparan
keras pada wajah Imron. Sebab, orang itu menyatakan sudah ada kecocokan
dengan kualitas rotan dari perusahaan Imron.
"Dari mana dia tahu kualitas rotan saya, kenal saja belum," kenang Imron.
Berusaha
tidak menunjukkan sikap curiga, Imron terus mengorek informasi dari
tamunya itu. Ternyata, sudah dua tahun lebih Sam mengirim rotan ke
perusahaan ekspotir tersebut, biarpun jumlahnya sangat terbatas. Kecuali
pernah dua kali mengirim secara penuh masing-masing satu truk.
Penjelasan itu sudah lebih dari cukup bagi Imron untuk menilai Sam.
Setelah
tamunya pulang ke Jakarta dengan sangat kecewa, Imron memanggil sopir
perusahaan beserta Iwan. Kedua karyawan itu diminta datang ke ruang
serambi rumah Imron yang megah itu.
Pada awalnya sopir itu bersikeras
menolak tuduhan itu. Tapi, setelah Imron menyebutkan nama perusahaan
eksportir berikut alamat gudangnya, sang sopir mengakuinya dengan wajah
lemas. Dia merasa telah diperalat oleh Sam dan memohon agar tidak
dipecat dari pekerjaannya sebagai sopir perusahaan.
Imron memang
tidak memecat sang sopir, dan yang dipecat dengan tidak hormat tidak
lain adalah Sam. Tanpa banyak komentar, Sam menerima surat pemecatan
berikut uang pesangon yang lumayan besar dari bossnya.
Tahun
berikutnya, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang tentang Pengaturan
Ekspor Rotan ke luar negeri. Yang intinya melarang ekspor rotan berupa
bahan mentah. Dengan keluarnya peraturan itu, satu demi satu perusahaan
rotan di Kabupaten Cirebon maupun di Kota Cirebon bertumbangan, termasuk
perusahaan rotan milik Imron.
Hanya berselang satu tahun setelah
resmi perusahaan rotan Imaron mengalami kelesuan, Ratinah juga mengalami
serangan penyakit yang sangat aneh. Pada awalnya dipastikan hanya
penyakit turun bero atau peranakan turun. Namun upaya melalui sistem
pijat oleh beberapa paraji (dukun beranak) tidak membuahkan hasil.
Selanjutnya
timbul rasa gatal di sekitar mulut vagina. Selama seminggu, rasa gatal
itu terus menyiksa. Serangan gatal itu datang dan pergi mirip hantu.
Terkadang,
serangan gatal itu datang di saat dia berada di pasar atau di
tengah-tengah pertemuaan dengan anggota keluarganya. Akibatnya Ratinah
sering dibuat malu, lantaran dia mesti tergesa-gesa menerobos pintu
kamar mandi untuk menggaruk bagian sensitif pada organ kewanitaannya
itu.
Serangan gatal itupun sempat hilang selama satu bulan lebih. Hal
itu membuat lega batin Ratinah. Namun, satu bulan berikutnya, datang
serangan sakit yang sangat ganjil. Bagian dalam alat vitalnya serasa
seperti ditusuki ribuan jarum kecil.
Makin lama kondisinya makin
memburuk. Bahkan dari alat vital Ratinah mulai keluar nanah kental
disertai menyebarnya bau busuk. Setelah itu, setiap hari yang dikerjakan
Ratinah hanya berbaring di atas kasur. Nafsu makannya turun secara
dratis. Akibatnya, tubuh yang semula montok dan sintal, secara cepat
berubah kurus sampai akhirnya tidak ubahnya kerangka yang terbungkus
kulit.
Selama sakit aneh itu, sanak keluarga maupun bekas karyawan
yang merasa simpati, sangat jarang yang berani memasuki kamar tidurnya.
Mereka memilih duduk di ruang tamu, lantaran tak tahan dengan bau busuk
dari alat vital Ratinah. Dari ruang tamu pun, bau busuk itu sudah
tercium bahkan hingga ke serambi luar rumah.
Hanya seorang diri
Ratinah merasakan deraan sakit luar biasa di kamar tidurnya. Berbagai
upaya penyembuhan selalu nihil. Baik melalui jalur medis maupun jalur
alternatif memanfaatkan kalangan supranaturalis.
Sejumlah paranormal
sudah didatangkan. Terapi yang dilakukan paranormal sudah dijalani,
namun pada ujungnya menyerah sambil menyarankan supaya mengundang dokter
kandungan karena penyakit itu termasuk penyakit dhohir.
Saran para
paranormal itu hanya dijawab dengan anggukan kepala. Pasalnya, sebelum
paranormal memberi saran, sudah lebih dari lima dokter ahli kandungan
lokal maupun dari kota besar yang didatangkan, tapi tidak membuahkan
hasil.
Untuk ikhtiar pengobatan yang tanpa hasil itu, ternyata telah
meludeskan segalanya. Dua hektare sawah berikut ladang telah dijual.
Menyusul perabotan di dalam rumah berikut perhiasan serta tabungan di
bank. Ketika sudah tak punya apa-apa lagi, Ratinah maupun Imron memilih
untuk berpasrah diri kepada Allah SWT.
Memasuki duapuluh bulan
kemudian, ketika Ratinah sudah berada antara hidup dan mati, serta
kondisi bangunan rumah yang kumuh tidak terurus, Imron dalam mimpinya
bertemu seorang laki-laki renta mengenakan pakaian ala para sunan di era
Wali Songo.
Laki-laki dengan raut muka memancarkan aura putih itu,
menyarankan untuk laku tirakat di salah sebuah tempat keramat di wilayah
Kecamatan Gegesik, Kabupaten Cirebon.
Tanpa banyak pertimbangan,
saran laki-laki yang berpenampilan ala sunan dari mimpinya itu langsung
dijalani. Tempat yang dituju itu, ternyata salah sebuah petilasan Ki
Kuwu Sangkan sewaktu menjalankan laku tirakat beberapa abad silam.
Satu
minggu sudah berlalu, dan Imron belum mendapatkan petunjuk apapun dalam
tirakatnya. Tanpa pernah merasa putus asa, laku tirakatnya terus
dilanjutkan hingga memasuki hari keempat puluh.
Pada malam keempat
puluh satu, antara sadar dan tidak, di depan lutut Imron yang sedang
berzikir seperti tersaji adegan drama yang teramat mencekam. Laki-laki
yang pernah hadir dalam mimpinya itu, sedang menginjak dada laki-laki
berpenampilan jawara. Laki-laki dengan mengenakan blangkon, baju kampret
dan celana komprang warna hitam, dalam keadaan terlentang tak berdaya.
Menyaksikan
adegan klimaks sebuah pertarungan itu, membuat Imron ternganga tanpa
suara. Lantas, laki-laki ala sunan itu menanyakan identitas dan berbagai
hal terhadap laki-laki jawara di bawah telapak kaki kanannya itu.
Dengan
nada sangat ketakutan serta menderita, laki-laki itu menyebutkan
jatidirinya. Ternyata dia makhluk alam gaib dengan digelari Pangeran
Santet. Pangeran Santet itupun mengaku kalau selama duapuluh bulan ini
terus menyiksa Ratinah dengan menggunakan ilmu Santet Rumput Rawa
andalannya.
Pangeran Santet menuturkan proses serangan ilmu
santetnya. Dimana rumput berlugut dari tengah rawa di sekitar pesisir
Kecamatan Kapetakan, Kabupaten Cirebon secara rutin dimasukkan secara
gaib ke dalam rahim Ratinah. Karena itulah, dari alat vital Ratinah
keluar nanah kental diiringi bau sangat busuk.
Atas desakan laki-laki
ala sunan, sang Pangeran Santet bersedia menarik kembali ilmu santetnya
dari raga Ratinah hingga sembuh seperti sediakala. Yang sangat
mengejutkan, makhluk halus aliran hitam itu menyebutkan identitas orang
yang telah memperalatnya untuk menyiksa Ratinah. Siapa lagi kalau bukan
Sam.
Mendengar nama Sam disebut-sebut, tanpa sadar emosi Imron
langsung memuncak. Sebelum Imron kalap dan histeris, laki-laki ala sunan
itu mengangkat kakinya dari dada Pangeran Santet sekaligus menyuruh
makhluk aliran hitam itu supaya pulang kembali ke asalnya.
Sepeninggalnya
Pangeran Santet, laki-laki ala sunan itupun menyampaikan petuah bahwa
apapun yang dia dengar tidak boleh dijadikan alat untuk membalas dendam.
Siapapun
yang menanam pasti dia yang bakal memetik buahnya. Karena petuah
itulah, Imron memilih pasrah. Terlebih lagi, secara menakjubkan,
penyakit menjijikan itu sudah meninggalkan alat vital isterinya.