Kisah mistis ini
dialami oleh seorang pengusaha Showbiz Jakarta, sebutlah MN, yang hingga
saat ini masih keliling Indonesia dan Malaysia dalam menjalankan roda
usahanya di bidang entertainment....
Jantungku bergetar
hebat tatkala kulihat sosok Bunda di bandara Hang Nadim, Batam, 16
Oktober 2005, pukul 10.45 WIB. Kemeja hijau, tutup kepala hijau muda,
celana jin hitam ketat dan tas traveling bag louis vitton warna
coklat di pundaknya. “Bunda...Bunda!” teriakku kepadanya, sambil
bergegas menuju ke arahnya di pelataran bandara.
Bunda seperti tidak
mendengar teriakanku. Kakinya yang lincah dengan cepat melangkah dan
memasuki taksi warna biru dan terus melaju ke arah Nagoya. Aku
memperkeras teriakanku, tapi Bunda dan sopir taksi itu tak bergeming,
bahkan dengan cepat melesat keluar areal bandara Hang Nadim.
Aku
segera menaiki taksi yang lain. Sayang, supir taksi yang kunaiki sudah
berumur. Pria berkulit hitam dan berkeriput di bagian leher itu tak
mampu mengejar taksi dengan nomor polisi BM 3344 AH yang ditumpangi
Bunda. Ah, untunglah aku masih sempat melihat dan mencatat nomor ini.
Kalau tidak, pastilah aku tak pernah bisa tahu apa yang sesungguhnya
telah terjadi dengan Bunda.
Dengan berbekal nomor itu, aku
menghubungi pool taksi yang dinaiki Bunda. Kepada petugas pool aku
menanyakan identitas diri sopir taksi yang dinaiki Bunda. Ternyata taksi
itu dikemudikan oleh seorang bernama Amir Syarifudin, warga Pasar
Jodoh.
Ringkas cerita, oleh pihak manajemen taksi aku dipertemukan
dengan Amir Syarifudin. Kudesak pria muda ini dengan ragam pertanyaan,
intinya adalah di mana perempuan yang kumaksud sebagai Bunda itu
diantarkannya.
“Di Nagoya Plaza, Pak!” Aku Pak Amir Syarifudin. Dia
lalu menceritakan, saat di taksi Bunda tak bicara sepatah katapun,
kecuali menyebut Nagoya Plaza. Setelah itu dia memberi uang Rp 100 ribu
dan tidak minta kembalian. Padahal ongkos taksi hanya 45 ribu ruopiah.
Jadi 55 ribu rupiah kelebihannya.
“Biasa, setelah mendrop penumpang ke tujuannya, saya segera jalan dan mencari penumpang lainnya!” Tambah Amir, pendek.
Setelah
bertemu dengan Pak Amir, aku menuju Nagoya Plaza. Aku naik semua lantai
dan memasuki semua ruang berikut counter yang ada. Tapi tak satupun
tanda-tanda menunjukkan keberadaan Bunda di situ. Ribuan manusia yang
ada di pusat perbelanjaan, tak nampak seujung kuku pun sosok Bunda di
kerumunan itu.
Dengan lemas aku kembali ke tujuan utamaku. Aku segera
menuju hotel La Paz di Bukit Kermunting. Pukul 17 petang aku akan
meeting dengan panitia Sowbiz Jamz yang akan mengelar atraksi Hard Rock
Grup Spectrum dari Negeri Jiran, Malaysia.
Sesampianya di La Paz kamar 5113 panthouse aku merebahkan diri dan melamunkan Bunda.
Bunda
adalah mertuaku yang meninggal dunia pada l7 April 2005 lalu. Karena
ada permintaan khusus, minta dimakamkan di Kuala Tual, Tanjungpinang,
Riau Kepulauan. Sesuai dengan permintaannya, Bunda disemayamkan di
pemakaman keluarga di Tual, 18 April 2005.
Tanggal 20 April pukul
19.30 malam, ada kabar buruk dari Tanjungpinang yang menyebut bahwa
orang sekampung geger karena banyak yang mengaku berpapasan dengan
Bunda. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi? Yang pasti, banyak yang
menganggap kalau Bunda hidup lagi dan membuat geger kota kecil Kuala
Tual.
Waktu itu Erni, mantan isteriku, segera menelpon dan meminta
aku datang. Walau kami sudah bercerai sejak tahun 2001, hubungan kami
masih sangat baik. Apalagi aku punya dua anak dari perkawinanku selama
10 tahun dengan Erni.
“Apa mungkin orang yang sudah mati hidup lagi,
Bang? Masak beberapa saudara di Tual memberi tahu bahwa Bunda hidup lagi
dan bergentayangan keliling kota. Malah warga bilang Bunda menjadi
hantu. Benarkah hal begituan ada Bang?” Kata Erni dengan bertubi-tubi.
"Entahlah! Tapi aku rasa itu sangat mustahil," jawabku sambil menggeleng lemah.
Aku
memang buta sama sekali dengan hal-hal yang berbau gaib. Untuk itu aku
tak mampu memberi jawaban dan keterangan yang berarti guna memuaskan
hati mantanku itu. Tapi yang jelas aku pernah mendengar sejak kecil
bahwa ada orang mati yang hidup lagi dan menjadi hantu. Biasanya, mayat
yang jadi hantu itu adalah mayat penjahat, pembunuh dan manusia yang
punya superdosa dunia. Itulah hal yang kukatakan pada Erni.
“Tapi
Bunda kan orang baik. Dia punya rasa kasih sayang yang besar sesama
manusia. Jiwa sosialnya sangat tinggi dan gemar membantu orang-orang
yang berada dalam kesulitan. Jangankan pada keluarga, pada orang lainpun
Bunda sangat baik. Bahkan, sholatnya pun rajin sekali. Sembahyangnya,
jika tidak lagi berhalangan, Bunda melakukan rutin lima waktu dan rajin
sekali sembahyang sunnah. Bunda sangat mencintai keluarganya, tetangga
dan teman-temannya di organisasi Ikatan Pengusaha Wanita Indonesia
IWAPI. Lantas, bagaimana mungkin arwahnya bisa gentayangan?" Sesal Erni
dengan sorot mata menerawang jauh.
Seperti pandangan Erni tentang
Bunda, aku pun tak begitu yakin Bunda arwahnya gentayangan. Soso yang
mirip Bunda itu, pikirku, pastilah bukan arwah Bunda yang sebenarnya.
Bisa saja setan yang meniru-niru Bunda, dengan maksud ingin menebar
fitnah. Karena kemiripan itu, maka warga Tual mengira itu adalah Bunda.
Lalu mereka mengatakan bahwa arwah Bunda gentayangan dan menjadi hantu.
Ah,
aneh sekali, memang! Kusarankan pada Erni agar tidak terganggu dengan
isyu yang amat musykil itu. Anggaplah cerita itu sebagai sebuah
halusinasi atau hayalan yang tak pernah menjadi kenyataan. Bahkan
katakanlah hal itu sebagai isapan jempol belaka.
Erni mengangguk.
Erni mulai merasa tenang dan siap mental menghadapi isyu aneh dan
irasional itu. Sejak itu Erni lebih berbesar hati, lebih taktis
menanggai cerita demi cerita yang sampai di kupingnya. Tapi diam-diam,
Erni selalu mengadakan pengajian warga kompleks di lingkungan tempat
tinggalnya dan meminta ibu-ibu anggota pengajian mendoakan almarhumah
ibunya dan membacakan surat Al Fatihah agar arwahnya di terima secara
layak di sisi Allah dan menjadi salah seorang penghuni surga.
Hari
ke hari, bulan ke bulan terus berlalu. Selain pikiran Erni mulai menjadi
tenang, suara-suara miring tentang arwah Bunda yang gentayangan pun
perlahan tapi pasti mulai memudar.
Bahkan, warga yang menyebarkan isu
pertama kali di Tual tentang Bunda jadi hantu, meninggal dunia karena
kecelakaan boat dan diduga pula arwahnya penasaran karena proses
kematiannya yang mendadak dan tidak wajar. Fitnah, zalim, sombong,
lalim, nyinyir dan pelit, itulah prilaku yang kemudian memungkinkan
warga bernama Hartati itu menjadi sebab cerita mirinya setelah
kematiannya . Arwahnya konon penasaran dan bergentayangan, bahkan kerap
menakut-nakuti warga.
Tetapi soal arwah-arwah yang gentayangan ini,
aku sama sekali sulit mempercayainya. Bukankah seorang yang telah mati
putus hubungannya dengan dunia tempat kita hidup....?
***
Saat
lamunanku melayang kepada Erni dan Bunda, tiba-tiba pintu kamarku ada
yang mengetuk. Keras sekali, sehingga membuat detak jantungku menjadi
lebih cepat. Aku segera beranjak dan membuka pintu. Di sana berdiri
seorang yang wajahnya tak asing lagi bagiku. Kuperhatikan sosok itu dari
ujung kaki hingga ke ujung rambut. Sepatu lancip warga hitam berornamen
berlian, celana jin ketat hitam, kemeja hijau dan tutup kepala hijau
muda dengan tas Louis Vitton warnah coklat.
Bunda! Ya, itulah Bunda
yang sedang menjadi lamunanku. Bunda berdiri kaku di hadapanku. Karena
sulit percaya, mulutku tak mampu mengucapkan sepatah katapun. Namun yang
pasti, kulihat wajah Bunda nampak pucat dan matanya sangat kosong
menatap ke mataku. Jantungku makin berdetak hebat dan tubuhku terasa
“mati” seketika.
Takut! Ya, aku memang takut. Bahkan perasan ini
bergelayut hebat dalam benakku manakala aku sadar kalau Bunda sudah lama
tiada. Lalu, siapa yang berdiri di hadapanku ini?
Batinku bergejolak
dan tengkukku merinding dengan keringat dingin yang mulai mengucur.
Bayangkanku jauh pada Erni di Tual sana. Ya, bayangan itu sekali-kali
berpindah pada warga Tual yang heboh dengan cerita kebangkitan arwah
Bunda. Apa yang diramaikan orang, yang dipergunjingkan orang selama ini
di Tual, mungkinkah benar adanya. Ya, Bunda benar-benar hidup lagi dan
berada di depanku. Apa yang kuragukan, apa yang kusangsikan selama ini,
ternyata berbeda. Bunda benar-benar ada dan kuyakini dia menjadi
seperti apa yang orang Tual sebut.
Dengan sisa-sisa keberanianku, aku
berusaha mengucapkan sesuatu pada Bunda. "A...apa kabar, Bunda? Mari,
si...slakan masuk!" Demikian patahan kalimat yang mulncur gemetar dari
mulutku.
Namun, Bunda tidak begeming. Jangankan berkata-kata,
bergerak barang sejengkal pun tidak dilakukannya untukku. Dalam waktu
sepersekian detik setelah sapaan terakhirku, Bunda malah menghilang
seperti angin. Persis bagaikan spiritus dilalap api.
“Bunda, Bunda!” panggilku. Tapi Bunda tak nampak lagi. Dari ujung ke ujung lorong aku telusuri, Bunda tak ada di situ.
Jantungku
makin bergetar hebat. Nyaliku makin ciut dan rasa takut semakin
bergelayut, membuncah dahsyat dalam batinku. Aku segera masuk kamar
dan menelpon ke front office. Aku minta supaya ada seorang security yang
naik ke kamarku. Aku mau menceritakan apa yang kulihat dan rasa takut
yang kualami.
Sebelum security datang, karena rasa takut yang
teramat besar, aku jadi kepingin kencing. Tapi ada perasaan aman karena
security sebentar lagi datang ke kamarku. Aku bergegas ke kamar mandi
dan membuka pintu. Jantungku kembali berguncang hebat. Bunda berdiri di
kamar mandi menghadap ke arahku. Kali ini aku berlari keluar dan
meninggalkan kamar. Security bertemu aku di depan lift. Aku segera
menarik tangannya dan menunjukkan keberadaan Bunda di kamar mandi.
Tapi sayang, Bunda tak ada lagi di kamar mandi. Security geleng kepala setelah kuceritakan keadaan yang kulihat tadi kepadanya.
“Maaf,
mungkin bapak berhalusinasi tentang apa yang Bapak lihat. Tidak mungkin
ada orang di kamar mandi, sebab pintu-pintu kamar do hotel ini selalu
terkunci!” Paparnya dengan tegas.
Hari itu juga aku pindah kamar. Aku minta kamar lain dan minta ditemani seorang angota panitia setempat.
Setelah
pertemuan sore, aku besama salah seorang anggota panitia yang
mengawalku naik lagi ke kamar. Setelah membka pintu, anehnya bayangan
Bunda ada lagi di kamar baruku. Dia duduk di sofa sambil memegang kipas
batik warna coklat miliknya dulu. Pengawalku juga melihat sosok Bunda di
sofa itu. Aku disuruhnya duduk dekat dia dan dia memintaku menyampaikan
pesannya kepada anak-anaknya. Bunda minta dikubur ulang dan makamnya
dibersihkan dari gangguan jin.
Setelah berpesan, Bunda menghilang
entah ke mana. Setelah itu Bunda tak nampak lagi hingga acara showbiz
selesai. Namun walau Bunda tidak ada, batinku tetap terguncang karena
seumur hidup bari kali itu aku bertemu dengan orang mati yang hidup
kembali.
Kusampaikan amanat Bunda kepada keluarganya. Setelah
anak-anak Bunda sepakat, termasuk Erni, mantan istriku untuk
membersihkan makam dan mengubur ulang, kami berangkat ke Tanjungpinang
dari Jakarta. Bersama kami seorang ahli pengusir jin yang siap
menyempurnakan pemakaman dan mengusir jin-jin jahat yang mengganggu
arwah Bunda. Menurut si paranormal, jin-jin yang menghuni kuburan itu
adalah jin yang suka mengganggu orang-orang mati agar arwahnya
gentayangan.
“Jadi, arwah manusia yang gentayangan itu tidak
selamanya orang jahat dan penghuni neraka yang ditolak alam barzah.
Orang baik pun, bahkan ulama besar pun, bisa gentayangan arwahnya bila
makamnya dihuni oleh jin-jin kafir yang jahat!” Jelas Ustadz Komarudin,
ulama yang membersihakn makam Bunda.
Tahulah kami bahwa kasus arwah
Bunda yang gentayangan, bukanlah gossip atau dongeng isapan jempol. Hal
tersebut rupanya benar-benar nyata dan ada. Arwah Bunda benar-benar
bergentayangan dan menjadi momok yang menakut-nakuti warga, termasuk
aku, mantan menantunya.
Kami semua akhirnya percaya bahwa hal-hal
gaib itu ada dan Allah terkadang menunjukkan seesuatu yang gaib itu
dapat kasat mata dan berinteraksi dengan manusia yang hidup.