Kisah ini dialami oleh banyak warga Desa Blang Preh, Kec. Seunagan
Timur, Kab. Nagan Raya, NAD. Dituturkan oleh Mudin, salah seorang warga
yang kerap menderita sakit gigi. Berikut ini petikan kisah mistis yang
berhasil direkam....
Suatu pagi November 2005, saat musim durian.
Penulis sengaja pergi ke Desa Blang Preh. Maksudnya sekedar untuk
membeli durian murah pada warga desa. Lumayanlah, dibanding harga di
pasar Kota Jeurum memang jauh berbeda. Dengan uang Rp 10.000 bisa dapat
tiga buah dan lumayan besar. Jika beli dikota paling dapat 2 buah.
Hitung-hitung buat menghemat sedikit. Toh, tempat tinggal Penulis dengan
Desa Blang Preh tidak terlalu jauh, cuma 2 km saja.
Saat itu,
Penulis baru saja tiba di jalan kaki bukit desa yang menuju ke atas,
dimana kebun durian warga desa banyak terdapat di sana. Kebun durian
yang diwariskan turun-temurun ini, jika sudah musimnya banyak dikunjungi
warga desa lain.
Setelah mendaki jalan ke bukit itu, Penulis
berpapasan dengan Mudin, wara asli Desa Blang Preh. Karena capek,
Penulis duduk dipinggir jurang, tepatnya di bawah pohon durian yang
lumayan rindang namun buahnya sudah agak jarang.
Mudin pun ikut
menemani. Sambil menyulut rokok kretek, Mudin dan Penulis mengobrol
kesana kemari. Sampai akhirnya terkuaklah kisah yang rada nyeleneh ini..
Kisahnya,
sejak beberapa tahun lalu. saat Darurat Militer pertama diterapkan di
bumi Aceh, puluhan warga Desa Blang Preh baik tua muda, serta anak-anak
didera penyakit sakit gigi. Anehnya, jika seorang warga mulai sakit
gigi, pasti besoknya akan ada yang lain lagi yang menderita sakit yang
sama.
"Begitulah kejadiannya, hingga setengah warga desa mengidap sakit gigi dalam waktu hampir bersamaan," ujar Mudin.
Penulis
tak percaya dengan kisah yang dituturkan Mudin. Namun dia
memperlihatkan seluruh gigi depannya pada copot semua, padahal usia
Mudin masih 25 tahun.
Tak sampai disitu, Mudin juga menyebutkan
puluhan nama lainnya yang bernasib sama seperti dirinya. Diantara
nama-nama tersebut, ada beberapa gadis desa yang cantik-cantik, yang
kemudian juga harus rela kehilangan gigi depannya. Dikatakan, kenyataan
aneh ini terjadi karena ilmu hitam yang disebut Santet Burung.
Waktu
itu, santet ini sengaja ditebarkan oleh seorang dukun pemuja Ilmu Burung
Tujuh. Namanya SA, kakek berusia sekitar 65 tahun ini memang dalangnya.
Rumahnya
terletak diatas bukit di Desa Blang Preh. Kerjaannya tidak ada, hanya
sebagai buruh tani biasa. Dengan profesi dukunnya, dia paling ditakuti
warga. Soalnya SA dikenal jahat. Sedikit saja punya masalah dengannya,
lawannya bisa dibuat sakit berat dalam semalam. Bahkan banyak
diantaranya yang meninggal dunia.
Strategi dukun SA menyebarkan
penyakit sakit gigi massal ini bukan tanpa asalan. Maksudnya, si
penderita sakit gigi ini tentu akan datang berobat padanya. Dengan
demikian, dia bisa panen uang atau barang, sebab si pasien yang berobat
padanya tentu membawa buah tangan baik berupa rokok maupun barang
lainnya. Bayangkan jika ada 20-30 orang yang berobat padanya dalam
sehari, sudah tentu banyak pemasukannya.
Tak hanya warga Desa Blang
Preh saja, warga tiga desa sekitar juga mengalami hal serupa. Terkadang
tidak berupa sakit gigi, tetapi berupa penyakit aneh lainnya. Namun,
warga enggan berobat pada dukun SA. Alasannya, jika sembuh pasti bulan
depan kambuh lagi. Ini karena si dukun SA menerapkan sistem mata rantai
pengobatan terhadap si pasien agar pemasukan uang rokoknya tidak pernah
putus.
Penasaran dengan sosok dukun SA ini, Penulis minta pada Mudin
untuk diperkenalkan dengannya. Dengan wajah ketakutan, Mudin minta pada
Penulis agar tidak menyebut atau mengatakan sesuatu tentang dia. Karena
SA pasti tahu apa yang sedang dibicarakan, meski dia ada di rumah maupun
tempat lain. Penulis tersenyum geli mendengar penuturan ini, Mudin pun
keheranan
"Lho, kenapa mesti takut padanya? Dia manusia juga sama
seperti kita, yang perlu kita takutkan itu cuma satu Allah SWT!" ujar
Misteri.
Mendengar ini, Mudin pun timbul keberaniannya. Berdalih
untuk menemani Penulis mencari durian. Mudin mengajak jalan-jalan hampir
di seluruh kampung. Akhirnya sampai juga di sebuah rumah kecil
berdinding papan yang sudah lapuk.
Dari dalam keluar seorang lelaki
tua berwajah pucat, rambut ubanan, baju sedikit kotor. Penulis
mengucapkan salam. "Assalammu'alaikum.!" Namun, bapak itu tidak
menjawabnya, malah memalingkan muka kearah lain. Mudin mencubit lengan
Penulis sambil berbisik kalau dialah si dukun SA.
Tahu dialah dalang
santet, Penulis mengajaknya ngobrol. Namun, dia mengalihkan pembicaraan
ke hal lain. Tak heran pula, jika terlihat dia sering bicara sendiri.
Seakan sedang bicara dengan jin pemujaannya. Tak jelas memang, sesekali
terdengar ditelinga Penulis dia berujar, "Tidak apa-apa....kamu diam
saja!" Penulispun tak tahu maksud dari ocehannya itu.
Masih menurut
Mudin, jika si dukun SA sudah mulai keliling desa, maka itu pertanda
akan ada penyakit massal. Hal ini sudah sering kali dia lihat bersama
warga desa lainnya.