Kekayaan
tetangga kiri dan kanan ternyata mulai mengusik istriku. Ia merasa
kurang nyaman melihat Bu Kirno tetangga sebelah kiri rumahku membeli
sebuah mobil baru lagi. "Padahal Bu Kirno tak mempunyai anak dan tak
bekerja, masa harus mempunyai mobil dua buah," omel istriku mengomentari
mobil baru Bu Kirno.
Belum genap seminggu omelan sirik tersebut
berhenti, eh kemarin istriku Rani siang-siang menelponku ke kantor hanya
untuk mengabarkan bahwa tetangga kami Bu Thomas juga menukar mobil
lawasnya dengan sebuah mobil baru keluaran merek Toyota. Aku hanya
menghela napas panjang seraya berujar lembut, "Bu, rejeki orang kan
beda-beda, ayah belum mampu menukar mobil butut kita. Doakan saja ayah
banyak rejekinya ya, " tuturku menenangkannya.
Boro-boro tukar
mobil, lha yang namanya ngecet rumah saja sudah dua tahun ini tak bisa
aku lakukan. Aku mementingkan pendidikan anak-anak dulu. Si sulung sudah
kelas 6 SD sedangkan si bontot baru masuk Sekolah Dasar. Bayangkan saja
biaya yang harus aku siapkan untuk memenuhi pendidikan anak-anakku agar
mereka mendapatkan sekolah yang baik mutunya serta mengajarkan akhlak
yang benar pula. Aku rasa cita-cita semua ayah di dunia ini sama jika
untuk pendidikan anak.
Rani kunikahi 9 tahun yang lalu, tapi dulu
Rani kupilih menjadi istriku karena sangat pengertian dan memahami
diriku. Tapi kok seiring berkembangnya waktu Rani jadi berubah? Ia kini
sangat materialistis, semua hal dilihat dari jumlah rupiah semata.
Untung ia tak mengenal dolar Amerika, jika ia tahu berapa nilai tukar
Dolar atau Euro terhadap rupiah mungkin ia berubah haluan melihat semua
hal dari mata uang tersebut.
Yang mulai menjengkelkan, kini Rani
sering merengek-rengek untuk meminta perhiasan tambahan karena ia malu,
teman dan tetangga sering berganti-ganti model perhiasan sedangkan yang
dimiliki Rani tak pernah berubah gaya sejak sembilan tahun yang lalu,
maklumlah itu mas kawin pernikahan kami.
Tak berhenti sampai
disitu, Rani mulai kerap menelponku ke kantor dan meminta ijin membeli
tas, sepatu atau kosmetika yang ditawarkan oleh teman-teman arisannya.
Jengkel juga aku jadinya dan beberapa kali kubentak untuk tak
mengangguku di kantor untuk urusan seperti itu. Namun Rani bersikeras
dan terus menerus merengek.
Pernah suatu ketika saat aku sedang
rapat, kuiyakan saja permintannya. Walhasil begitu aku pulang kantor
sudah ada Ibu Lasmini yang menunggu kepulanganku sambil menyodorkan
tagihan barang yang diambil istriku, walau kredit 3 bulan namun
benar-benar menjengkelkan caranya.
Suatu hari, Rani meminta ijin
untuk pergi bersama teman-teman arisannya ke Jawa Timur, katanya untuk
menghilangkan kejenuhan. Karena aku juga kasihan melihatnya di rumah
terus maka kuijinkan ia pergi beberapa hari ke Surabaya. Aku juga
memberi uang saku untuk keperluannya selama berjalan-jalan.
Empat
hari kemudian Rani sudah pulang, ia membeli beberapa oleh-oleh berupa
makanan untuk anak-anak. Tak henti-hentinya ia berceloteh tentang
pengalaman perjalanannya. Namun ia juga menangis menceritakan bahwa
kalung mas kawin kami hilang, entah terjatuh dimana. Walaupun sangat
kesal karena kalung tersebut adalah satu-satunya sisa dari mas kawin
kami namun mau bilang apa lagi. Siapa yang mau kehilangan, coba?
Sejak
kepulangan Rani dari Jawa Timur, aku merasa ada yang agak aneh dari
sikapnya. Karena setiap pagi-pagi istriku sudah jalan-jalan. Katanya
ingin olah raga. Belum lagi di dapur teronggok bunga-bungaan tujuh rupa
beserta kemenyan dan rokok kretek yang diletakkan di tampah dari anyaman
bambu. Malah beberapa malam Jumat kucium bau asing menyengat hidungku.
Ternyata Rani sedang membakar kemenyan sambil membisikkan beberapa
kalimat yang asing terdengar di telinga. Bahkan setiap malam Rani mulai
suka menyendiri di teras rumah dengan lampu yang digelapkan total, ia
duduk-duduk saja, sesekali tertawa atau berkata-kata sendiri.
Tentu
saja tak kubiarkan istriku menjadi gila, maka suatu malam di saat
anak-anak sudah terlelap aku mengajaknya bicara dan menanyakan perubahan
dirinya. Rani diam saja dan berkilah belum waktunya ia menjelaskan.
Berkali-kali kudesak dan kukatakan keberatanku dengan adanya bunga tujuh
rupa dan bau kemenyan yang setiap malam menyengat hidung, ia tak
bergeming. Menunduk dalam-dalam sambil berucap, " Ayah tenanglah aja,
nanti kalau sudah ada hasilnya ayah juga bakal terima kasih ke aku".
Beberapa
minggu kemudian sepulang dari kerja kulihat ada sebuah kotak berisi kue
donat dari toko donat terkenal di Jakarta. "Dari siapa donat ini, bu?"
tanyaku sambil mengambil sebuah donat yang berwarna coklat. "Aku yang
beli tadi, sekalian jalan-jalan ke mal sama Bu Thomas nyoba mobil
barunya," jawab istriku ketus.
Minggu depannya lagi, ada DVD,
tas, sepatu, baju, lauk mewah dari restoran Padang dan beragam barang
baru di rumah. Tentu saja aku heran dan mempertanyakan dari mana asal
muasal barang-barang tersebut. "Ya beli dari mal, emang saya nyolong!"
teriak Rani dari kamar mandi. Dengan marah kugedor pintu kamar mandi dan
kuminta ia menjelaskan dari mana uang untuk membeli barang-barang
tersebut. "Sumpah, aku tidak jual diri, ini adalah uang hasil dari
perjuanganku," isaknya saat kutampar pipinya. "Perjuangan dari mana?!
Jelas ibu tak bekerja dan kita hanya hidup dari gajiku yang pas-pasan!"
teriakku tak kalah sengitnya.
"Aku memelihara tuyul pak, karena
aku lelah oleh kemiskinan yang mendera kita. Aku juga ingin mempunyai
barang bagus seperti milik tetangga. Aku menjual kalung emas dan
memberikannya kepada dukun sakti di Jawa Ttimur sebagai mas kawin untuk
mendapatkan bantuan tuyul. Dan tuyul itulah yang mencari uang buat kita
pak," jelas Rani di sela-sela tangisnya.
"Tiap pagi aku harus
membawa tuyul itu jalan-jalan dan malam hari aku memberinya makan dengan
bunga tujuh rupa lengkap. Aku juga harus menggendongnya jika malam,
makanya aku selalu melewatkan tengah malam duduk di teras rumah dan
sesekali harus menyusuinya," terangnya lagi.
Blar…Bagai terkena
hantaman kilat aku dibuatnya. Kupandangi istriku tanpa kedip, rasanya
tak mungkin perempuan yang telah kunikahi selama ini berubah drastis.
Istriku memelihara tuyul hanya karena iri dengan kemewahan yang dimiliki
tetanggaku. Aku tertegun lama dan tak mampu berucap. Aku lelah lahir
batin. Aku berencana memintanya memilih, keluarga atau tuyul tersebut.
Mari
kita hindari mencuri harta orang lain dengan tuyul atau pesugihan
apapun. Insya Allah urusan dunia tidak ada jalan buntu selama kita tetap
gigih berusaha dan bersabar dalam menjalani hidup.