Minggu, 04 Desember 2011

PETUALANGAN GAIB DI ALAS JATI CIREBON

Dalam petualangan gaib di hutan keramat ini, Saya mendapat pengijazahan berupa ilmu kerezekian dengan media kayu setigi. Bagaimanakah rahasianya ? Kisah berbau gaib ini memang sudah cukup lama berlalu. Persisnya berlangsung pertengahan tahun 1998 silam. Meski begitu, ada sisi yang amat menarik dari perjalanan gaib ini, yang barangkali saja bisa bermanfaat bagi anda.

Waktu itu, Saya diajak oleh seorang teman bernama Abdullah Fanani. Kami pergi ke suatu hutan legendaris bagi masyarakat Cirebon dan sekitarnya, yang dikenal dengan nama Alas Jati. Dikatakan legendaris sebab menurut kisahnya, pada masa kejayaan Sultan Cirebon yang dipimpin oleh seorang Waliyullah Kamil, Sultan Sarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, hutan ini selalu dimanfaatkan kayu jatinya yang terkenal bagus dan panjang menjulang untuk dijadikan tiang penyangga masjid.

Bahkan, masjid Agung Sang Cipta Rasa Cirebon yang sangat terkenal akan kekeramatannya itu, hampir seluruh kayunya diambil dari Alas Jati. Cerita lain menyebutkan, Alas Jati ini sering juga dijadikan tempat bertapa Wali Songi dan santrinya untuk mendekatkan diri kepada Sang Maha Pencipta Alam. Disitu pula berbagai aktivitas penggemblengan ilmu bathin diajarkan para sunan.

Meski zaman telah berkembang dengan pesat, namun kawasan Alas Jati masih tetap dipercaya mengandung kesakralan dan fenomena gaib tertentu. Sebagai contoh, dalam keseharian masyarakat Desa Benda Kerep dan sekitarnya, menganggap Alas Jati sebagai hutan yang sangat wingit. Jarang sekali ada warga yang berani memasuki kedalaman hutan ini seorang diri. Menurut cerita penduduk yang tinggal disekitar lereng Alas Jati, hutan jati ini masih sering menampakkan berbagai fenomena gaib, seperti kesaksian sejumlah warga Desa Benda Kerep yang mengaku pernah melihat kawasan hutan jati tersebut berubah menjadi sebuah pasar malam, dengan pengunjungnya yang berlimpah ruah. Ada juga kesaksian yang menyebutkan bahwa warga memang sering mendengar suara gamelan yang mendayu-dayu sedemikan rupa. Lebih dari itu, ada pula warga yang telah mendapat berbagai macam benda pusaka.

Berbagai kesaksian tersebut rupanya cukup menarik perhatian Abdullah Fanani. Dan sebagai seorang yang gemar bertualang menyibak keSayausan dunia gaib, tentu saja ajakan sang teman tak bisa Saya tolak. Apalagi, Abdullah Fanani mengatakan kalau dirinya ingin berburu pusaka di dalam kelebatan Alas Jati yang Wingit itu. Setelah menyusun kesepakatan, akhirnya berangkatlah kami berdua. Dengan berbekal keyakinan dan berbagai perlengkapan yang cukup memadai, Alhamdulillah akhirnya perjalanan kami sampai juga di perbatasan Desa Benda Kerep.

Sesampainya disana, kami harus menyelusuri sungai sejauh kira-kira 2 Km. Hal ini harus kami lakukan sebab setahu kami memang tak ada jalan lain, kecuali lewat sungai tersebut. Di saat matahari mulai terbenam ke ufuk barat, kami telah sampai di bibir Alas Jati. Tanpa peduli dengan kegelpan yang mulai meliputi sang mayapada, kami ters melangkah lebih jauh masuk ke dalam hutan. Sambil menyusuri setapak demi setapak areal Alas Jati, Saya tak kuasa untuk menghayati pemandangan yang terhampar di sekelilingnya. Subhanallah ! Saya amat takjub dengan seluruh pepohonan besar yang berbaris sedemikian rupa, seolah para raksasa yang berdiri mengawal keagungan awal. Anehnya pemandangan suasana hutan yang terhampar di sekeliling Saya yakini pernah terlihat dalam mimpi tiga tahun yang lalu. Ya mimpi itu benar-benar menjadi suatu kenyataan. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi ? Entahlah ! Yang pasti, Saya bertemu dengan seorang kakek yang memberikan sebatang kayu terbentuk papan, berwarna hitam legam yang ditengahnya terdapat rajah berupa deretan huruf-huruf Hijaiyah (Arab).

Lambat laun, lamunan Saya buyar oleh suara Abdullah Fanani yang memberi tahukan bahwa waktu Maghrib telah tiba. Dia pun mengumandangkan Adzan. Setelah kami sama-sama mengambil wudhu di aliran sungai kecil yang tak jauh dari tempat kami. Setelah itu kami melakukan sholat berjamaah. Selepas sholat, Saya mulai mempersiapkan segala sarana untuk ucapan ritual, yang sebelum berangkat memang sudah kami dipersiapkan di rumah. Tepat pukul 21.00 WIB, Saya dan Abdullah Fanani berpisah untuk mencari tempat masing-masing. Tentu saja maksudnya agar kami bisa khusyuk dalam melakukan ritual yang akan digelar, sesuai dengan permaksudan masing-masing juga. Lewat sebuah amalan pembuka pintu gaib, Saya mulai memusatkan segenap konsentrasi untuk masuk ke alam dimensi maya.

Entah sudah berapa jam Saya memusatkan konsentrasi, bahkan berbagai amalan dan ajian yang berbeda-beda sudah Mistei gunakan, namun amalan dimensi lain belum juga terbuka tirainya. Baru menjelang pukul 02.30 WIB, Saya mulai bisa menyibak alam lain yang ada di Alas Jati. Subhanallah ! Yang pertama Saya lihat ternyata sebuah pasar malam yang banyak sekali pengunjungnya. Dengan suatu urutan kejadian yang sulit diceritakan lewat untaian kalimat, yang jelas Saya mulai menapaki ruas jalan di arena pasar malam yang didapati orang tengah belanja itu. Anehnya! Semua orang yang ada dipasar itu tidak ada satu pun yang salah menyapa. Gerak-gerik mereka serba cepat, seolah semuanya diburu waktu untuk mengejar kepentingan pribadi masing-masing. Dalam pandangan mata Saya, pasar itu tak ubahnya seperti pasar pada umumnya yang ada di alam manusia. Hanya saja barang-barang yang diperjual-belikan nampak sangat janggal. Barang dagangan yang mereka jual belikan seluruhnya tidak sama dengan dagangan bangsa manusia. Ya, mereka banyak menjual berbagai pusaka, kuningan sari, batu permata, intan berlian, dan berbagai macam uang kuno. Entah sudah berapa jauh Saya menyelusuri pasar gaib. Karena terasa lelah, akhirnya Saya beristirahat di sebuah mushola kecil yang sepertinya sudah sangat tua. Ketika Saya akan masuk ke dalam mushola tersebut, tiba-tiba dari dalamnya keluar seorang kakek. Rupanya si kakek sengaja ingin menyambut kedatangan Saya.

"Selamat datang Anakku!" Cetus si kakek. Sikapnya amat ramah, dengan senyum yang terasa menyejukkan. Saya pun memberi hormat padanya dengan cara mencium jemari tangannya. Setelah itu si kakek memeluk pundak Saya, dan mengajaknya masuk ke dalam mushola tua. "Anakku, aku sangat senang sebab kau bisa datang di kediamanku itu. Sudah lama aku menunggumu. Rasanya, sudah tiga tahun menurut hitungan bangsa manusia. Ingat, aku pernah hadir dalam mimpimu, bukan? "Subhanallah! Saya baru sadar kalau kakek inilah yang memang pernah hadir dalam mimpi tiga tahun silam itu. "Ya, saya baru ingat kakek memang pernah hadir dalam mimpiku. Tapi, benarkah kakek yang dalam mimpi itu memberikan kayu hitam kepadaku ? Tanya Saya. "Benar, cucuku!" Jawab si kakek. "Masya Allah!" Saya langsung menubruk si kakek.

Rasa haru, sedih, bahagia, bercampur aduk dalam dada Saya. Bahkan, entah mengapa, saat itu Saya sempat menangis untuk sesuatu yang tak jelas. Mungkin, karena Saya merasa telah melampaui suatu kegaiban yang amat sulit dicerna dengan akal sehat. Setelah keadaan berubah tenang, si kakek baru mengeluarkan sesuatu dari balik bajunya. "Nak, inilah kayu hitam yang pernah aku berikan kepadamu dalam mimpi itu!" Katanya. Saya hampir tak percaya dibuatnya, sebab kayu yang diberikan si kakek wujudnya memang sama persis dengan kayu yang diberikannya lewat mimpi tiga tahun silam. Dari pertemuan ini akhirnya Saya jadi tahu kalau si kakek bernama ki Waru Seta. Beliau berasal dari golongan bangsa Jin Muslim. Dan kayu hitam pemberian si kakek itu ternyata adalah Kayu Setigi. Tapi yang paling penting, dalam pertemuan itu Saya diajarkan beberapa ilmu, diantaranya apa yang disebut sebagai ilmu Rajah Kerejekian.
Loading