Dalam petualangan gaib di hutan keramat ini, Saya mendapat
pengijazahan berupa ilmu kerezekian dengan media kayu setigi.
Bagaimanakah rahasianya ? Kisah berbau gaib ini memang sudah cukup lama
berlalu. Persisnya berlangsung pertengahan tahun 1998 silam. Meski
begitu, ada sisi yang amat menarik dari perjalanan gaib ini, yang
barangkali saja bisa bermanfaat bagi anda.
Waktu itu, Saya diajak
oleh seorang teman bernama Abdullah Fanani. Kami pergi ke suatu hutan
legendaris bagi masyarakat Cirebon dan sekitarnya, yang dikenal dengan
nama Alas Jati. Dikatakan legendaris sebab menurut kisahnya, pada masa
kejayaan Sultan Cirebon yang dipimpin oleh seorang Waliyullah Kamil,
Sultan Sarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, hutan ini selalu
dimanfaatkan kayu jatinya yang terkenal bagus dan panjang menjulang
untuk dijadikan tiang penyangga masjid.
Bahkan,
masjid Agung Sang Cipta Rasa Cirebon yang sangat terkenal akan
kekeramatannya itu, hampir seluruh kayunya diambil dari Alas Jati.
Cerita lain menyebutkan, Alas Jati ini sering juga dijadikan tempat
bertapa Wali Songi dan santrinya untuk mendekatkan diri kepada Sang Maha
Pencipta Alam. Disitu pula berbagai aktivitas penggemblengan ilmu
bathin diajarkan para sunan.
Meski zaman telah berkembang dengan
pesat, namun kawasan Alas Jati masih tetap dipercaya mengandung
kesakralan dan fenomena gaib tertentu. Sebagai contoh, dalam keseharian
masyarakat Desa Benda Kerep dan sekitarnya, menganggap Alas Jati sebagai
hutan yang sangat wingit. Jarang sekali ada warga yang berani memasuki
kedalaman hutan ini seorang diri. Menurut cerita penduduk yang tinggal
disekitar lereng Alas Jati, hutan jati ini masih sering menampakkan
berbagai fenomena gaib, seperti kesaksian sejumlah warga Desa Benda
Kerep yang mengaku pernah melihat kawasan hutan jati tersebut berubah
menjadi sebuah pasar malam, dengan pengunjungnya yang berlimpah ruah.
Ada juga kesaksian yang menyebutkan bahwa warga memang sering mendengar
suara gamelan yang mendayu-dayu sedemikan rupa. Lebih dari itu, ada pula
warga yang telah mendapat berbagai macam benda pusaka.
Berbagai
kesaksian tersebut rupanya cukup menarik perhatian Abdullah Fanani. Dan
sebagai seorang yang gemar bertualang menyibak keSayausan dunia gaib,
tentu saja ajakan sang teman tak bisa Saya tolak. Apalagi, Abdullah
Fanani mengatakan kalau dirinya ingin berburu pusaka di dalam kelebatan
Alas Jati yang Wingit itu. Setelah menyusun kesepakatan, akhirnya
berangkatlah kami berdua. Dengan berbekal keyakinan dan berbagai
perlengkapan yang cukup memadai, Alhamdulillah akhirnya perjalanan kami
sampai juga di perbatasan Desa Benda Kerep.
Sesampainya disana,
kami harus menyelusuri sungai sejauh kira-kira 2 Km. Hal ini harus kami
lakukan sebab setahu kami memang tak ada jalan lain, kecuali lewat
sungai tersebut. Di saat matahari mulai terbenam ke ufuk barat, kami
telah sampai di bibir Alas Jati. Tanpa peduli dengan kegelpan yang mulai
meliputi sang mayapada, kami ters melangkah lebih jauh masuk ke dalam
hutan. Sambil menyusuri setapak demi setapak areal Alas Jati, Saya tak
kuasa untuk menghayati pemandangan yang terhampar di sekelilingnya.
Subhanallah ! Saya amat takjub dengan seluruh pepohonan besar yang
berbaris sedemikian rupa, seolah para raksasa yang berdiri mengawal
keagungan awal. Anehnya pemandangan suasana hutan yang terhampar di
sekeliling Saya yakini pernah terlihat dalam mimpi tiga tahun yang lalu.
Ya mimpi itu benar-benar menjadi suatu kenyataan. Bagaimana mungkin ini
bisa terjadi ? Entahlah ! Yang pasti, Saya bertemu dengan seorang kakek
yang memberikan sebatang kayu terbentuk papan, berwarna hitam legam
yang ditengahnya terdapat rajah berupa deretan huruf-huruf Hijaiyah
(Arab).
Lambat laun, lamunan Saya buyar oleh suara Abdullah
Fanani yang memberi tahukan bahwa waktu Maghrib telah tiba. Dia pun
mengumandangkan Adzan. Setelah kami sama-sama mengambil wudhu di aliran
sungai kecil yang tak jauh dari tempat kami. Setelah itu kami melakukan
sholat berjamaah. Selepas sholat, Saya mulai mempersiapkan segala sarana
untuk ucapan ritual, yang sebelum berangkat memang sudah kami
dipersiapkan di rumah. Tepat pukul 21.00 WIB, Saya dan Abdullah Fanani
berpisah untuk mencari tempat masing-masing. Tentu saja maksudnya agar
kami bisa khusyuk dalam melakukan ritual yang akan digelar, sesuai
dengan permaksudan masing-masing juga. Lewat sebuah amalan pembuka pintu
gaib, Saya mulai memusatkan segenap konsentrasi untuk masuk ke alam
dimensi maya.
Entah sudah berapa jam Saya memusatkan
konsentrasi, bahkan berbagai amalan dan ajian yang berbeda-beda sudah
Mistei gunakan, namun amalan dimensi lain belum juga terbuka tirainya.
Baru menjelang pukul 02.30 WIB, Saya mulai bisa menyibak alam lain yang
ada di Alas Jati. Subhanallah ! Yang pertama Saya lihat ternyata sebuah
pasar malam yang banyak sekali pengunjungnya. Dengan suatu urutan
kejadian yang sulit diceritakan lewat untaian kalimat, yang jelas Saya
mulai menapaki ruas jalan di arena pasar malam yang didapati orang
tengah belanja itu. Anehnya! Semua orang yang ada dipasar itu tidak ada
satu pun yang salah menyapa. Gerak-gerik mereka serba cepat, seolah
semuanya diburu waktu untuk mengejar kepentingan pribadi masing-masing.
Dalam pandangan mata Saya, pasar itu tak ubahnya seperti pasar pada
umumnya yang ada di alam manusia. Hanya saja barang-barang yang
diperjual-belikan nampak sangat janggal. Barang dagangan yang mereka
jual belikan seluruhnya tidak sama dengan dagangan bangsa manusia. Ya,
mereka banyak menjual berbagai pusaka, kuningan sari, batu permata,
intan berlian, dan berbagai macam uang kuno. Entah sudah berapa jauh
Saya menyelusuri pasar gaib. Karena terasa lelah, akhirnya Saya
beristirahat di sebuah mushola kecil yang sepertinya sudah sangat tua.
Ketika Saya akan masuk ke dalam mushola tersebut, tiba-tiba dari
dalamnya keluar seorang kakek. Rupanya si kakek sengaja ingin menyambut
kedatangan Saya.
"Selamat datang Anakku!" Cetus si kakek.
Sikapnya amat ramah, dengan senyum yang terasa menyejukkan. Saya pun
memberi hormat padanya dengan cara mencium jemari tangannya. Setelah itu
si kakek memeluk pundak Saya, dan mengajaknya masuk ke dalam mushola
tua. "Anakku, aku sangat senang sebab kau bisa datang di kediamanku itu.
Sudah lama aku menunggumu. Rasanya, sudah tiga tahun menurut hitungan
bangsa manusia. Ingat, aku pernah hadir dalam mimpimu, bukan?
"Subhanallah! Saya baru sadar kalau kakek inilah yang memang pernah
hadir dalam mimpi tiga tahun silam itu. "Ya, saya baru ingat kakek
memang pernah hadir dalam mimpiku. Tapi, benarkah kakek yang dalam mimpi
itu memberikan kayu hitam kepadaku ? Tanya Saya. "Benar, cucuku!" Jawab
si kakek. "Masya Allah!" Saya langsung menubruk si kakek.
Rasa
haru, sedih, bahagia, bercampur aduk dalam dada Saya. Bahkan, entah
mengapa, saat itu Saya sempat menangis untuk sesuatu yang tak jelas.
Mungkin, karena Saya merasa telah melampaui suatu kegaiban yang amat
sulit dicerna dengan akal sehat. Setelah keadaan berubah tenang, si
kakek baru mengeluarkan sesuatu dari balik bajunya. "Nak, inilah kayu
hitam yang pernah aku berikan kepadamu dalam mimpi itu!" Katanya. Saya
hampir tak percaya dibuatnya, sebab kayu yang diberikan si kakek
wujudnya memang sama persis dengan kayu yang diberikannya lewat mimpi
tiga tahun silam. Dari pertemuan ini akhirnya Saya jadi tahu kalau si
kakek bernama ki Waru Seta. Beliau berasal dari golongan bangsa Jin
Muslim. Dan kayu hitam pemberian si kakek itu ternyata adalah Kayu
Setigi. Tapi yang paling penting, dalam pertemuan itu Saya diajarkan
beberapa ilmu, diantaranya apa yang disebut sebagai ilmu Rajah
Kerejekian.