Senin, 05 Desember 2011

KEPALA DI KEPLAK MBAHKU


Memberi sesaji kepada leluhur, terutama almarhum bapak dan ibunya, sudah menjadi tradisi bagi Painem, warga Magelang. Sesaji dilakukan tiap malam jumat. Untuk simbah, ia menyediakan segelas teh, segelas kopi dan tiga batang rokok di meja makan. Sedangkan untuk simbok, ia menyajikan tembakau, daun sirih dan segala kelengkapannya.
http://jojopradipta.blogspot.com/
Itu sudah berlangsung bertahun lamanya. Tak ada tujuan lain, kecuali mendoakan agar arwah almarhum bapak dan ibunya diterima di sisi-Nya. Painem yang sudah menjanda memang sangat menghormati kedua orangtuanya. Rasa hormat itu tetap dijunjung, meski keduanya telah almarhum. Paling tidak dari kebiasaannya. Toh, tidak terlalu merepotkan. Hanya tiap malam jumat. Dua anaknya yang sudah remaja memang belum begitu paham apa maksud sesaji buat leluhur.
Painem bisa memaklumi. Meski tinggal di desa, anak muda zaman sekarang kurang begitu peduli pada tradisi. Ia hanya berharap jika kelak dewasa, kedua anaknya paham makna sesaji itu. Tentu, dengan harapan meneruskan tradisi itu. “Kuwi dinggo simbahmu,” begitulah jawabnya jika ditanya kedua anaknya tentang sesaji itu. Menjelang malam jumat, Painem bergegas ke pasar membeli perlengkapan sesaji, baik untuk bapak maupun ibunya. Sore hari, sesaji sudah diletakkan di meja. Seperti biasa. Untuk simbah, disediakan segelas teh, segelas kopi dan tiga batang rokok. Sedangkan simbok, sesuai kedoyanannya, yakni nyirih.
Sekitar pukul 23.00, Painem sudah tidur. Beni, anak pertamanya, juga sudah lelap. Anak keduanya, Beno, masih keluyuran. Mendekati pukul 00.00, Beno pulang.
Karena lapar dan haus, rada gragas. Beno ke meja makan. Siapa tahu ada makanan, pikirnya. Dilihatnya ada air teh dan kopi. Ada rokoknya lagi.
Tanpa pikir panjang, air kopi untuk sesaji diminum. Lalu satu batang rokok diambil dan disulut. Baru satu sedotan, tiba-tiba kepalanya dikeplak dari arah atas. Beno clingukan. Siapa yang memukul kepalanya. Ia tidak melihat siapa pun. Hanya ia sendiri di ruang makan.
Meski bingung campur takut, rokok itu disedot lagi. Tiba-tiba kepalanya dikeplak lagi. Kali ini lebih keras dari keplakan pertama. Beno makin takut. Ia langsung masuk ke kamar ibunya. Lalu dibangunkan. Ibunya jengkel. “Ana apa?” tanyanya. Beno menjawab, “Aku wedi, Bu...”
Beno menjelaskan duduk perkaranya. Ibunya muntab. “Kowe nrakcak. Kuwi sesaji dinggo simbahmu. Pantes wae nek kowe dikeplak,” ungkap ibunya. Beno melongo, sambil menggumam: “Simbah nesu...”
Loading