Minggu, 11 Desember 2011

PETUALANGAN KE PUNCAK PARA DEWA

Semilir angin malam itu terasa begitu dingin membelai wajah. Kami melangkahkan kaki di tanah berpasir Desa Ranupani. Cuaca sangat cerah, gemintang tampak berkilauan menghiasi langit yang bersih. Sementara sinar lembut terpancar dari rembulan yang membulat sempurna. Ya, sungguh cuaca yang bagus untuk memulai pendakian. Benang-benang keberanian dan asa mulai dirajut. Berani melawan rasa lelah dan dingin yang mendera. Serta asa untuk menggapai puncak tertinggi di Pulau Jawa, Mahameru. Ikuti perjalanan Tim Jelajah Misteri berikut ini….
Bait demi bait lagi ”Mahameru” Dewa 19 lamat-lamat mengiang di telinga saat packing perbekalan di Desa Ranupani. Desa yang berketinggian 2.200 mdpl ini memiliki suhu yang sangat dingin. Menurut penduduk setempat, suhu di tempat ini bisa mencapai minus 2 derajat celcius pada pagi hari. Ranupani merupakan pintu rimba menuju Gunung Semeru, selain jalur Perkebunan Teh Kertowono, Lumajang, yang jarang dilalui. Para pendaki yang ingin merasakan segarnya alam Gunung Semeru biasanya memulai pendakian dari Ranupani menuju Ranu Kumbolo melalui Watu Rejeng. Rombongan dari komunitas Pangrango yang berjumlah 27 orang, termasuk Misteri di dalamnya, saat itu terpisah menjadi dua. Rombongan pertama yang berangkat pukul 4 sore memilih untuk melalui jalur Gunung Ayek-Ayek. Jalur ’potong kompas’ ini jauh lebih curam dan menanjak dibanding jalur Watu Rejeng yang memang jauh dan melipir banyak bukit. Waktu yang ditempuh untuk sampai Ranu Kumbolo lewat Gunung Ayek-Ayek hanya berkisar 2,5 jam. Bandingkan dengan jalur Watu Rejeng yang bisa memakan waktu hingga 4 jam. Rombongan kedua yang berangakat pukul 8 malam memilih jalur normal, yaitu Watu Rejeng. Tak salah jika ada yang mengatakan bahwa satu jam pertama merupakan salah satu yang terberat dalam pendakian. Kemampuan fisik masih dalam tahap adaptasi. Nafas memburu tak teratur, langkah kaki pun belum stabil. Memasuki satu jam berikutnya, barulah kondisi mulai membaik. Jalur menuju Ranu Kumbolo via Watu Rejeng cukup jelas dan landai. Menyusuri lereng perbukitan, dengan kondisi kanan bukit dan kiri jurang. Sekalipun cukup mudah, banyaknya pohon tumbang dan ranting-ranting yang menghalang jalur membuat pendaki harus hati-hati dalam melangkah. Syukurlah malam itu bulan bercayaha begitu terang sehingga sangat membantu menerangi jalan setapak. Sekitar 5 kilometer perjalanan, sampailah kami di Pos Watu Rejeng. Di tempat ini terlihat tebing batu yang sangat kokoh dan menawan. Sementara di sisi kiri terhampar begitu indah bukit-bukit dan lembah yang ditumbuhi cemara. Sinar purnama membuat panorama malam itu benar-benar mengagumkan. Memasuki tengah malam, sebuah lembah yang tertutup kabut tebal terlihat di bawah sana. Itulah Ranu Kumbolo, danau cantik di antara lembah yang selalu berselimut kabut. Kendati telah terlihat, untuk menuju danau itu ternyata masih cukup jauh. Suhu yang kian dingin membuat tubuh tak kuat berlama-lama dalam diam. Kaki pun mengayuh lebih cepat menuruni bukit, memapas kabut menuju Ranu Kumbolo. Di ketinggian 2.390 mdpl dengan luas sekitar 8 ha. Ranu Kumbolo memang nampak sangat indah. Airnya yang bersih membuat danau ini menjadi sumber minum para pendaki. Ikannya pun cukup banyak, tampaknya menyenangkan sekali memancing di tempat ini. Pada pagi hari jika cuaca cerah pemandangan danau ini sungguh tak henti-hentinya menuai decak kagum. Terkadang muncul barisan burung belibis di permukaan airnya yang kian menambah damai suasana. Namun hampir sepanjang hari Ranu Kumbolo selalu berselimut kabut. Hal ini membuat suhu di wilayah ini begitu dingin menusuk tulang. Di pagi hari suhunya bisa mencapai minus enam dejarat celcius membuat embun membeku menjadi es. Malam itu kobaran api unggun di tepi Ranu Kumbolo benar-benar membuat tubuh hangat. Terasa nyaman sekali duduk santai sambil bercengkerama di tempat ini. Apalagi ditambah dengan segelas susu hangat dan makanan ringan. Canda tawa pun terlontar di tengah dinginnya selimut kabut Ranu Kumbolo. Kaki-kaki yang sudah berjalan kurang lebih 4 jam kami luruskan, tubuh pun beristirahat. Beberapa tenda telah terpasang, sebagian dari rombongan memutuskan untuk stay dan bermalam di tepi danau. Tak terasa waktu telah menunjuk pukul dua dinihari. Saatnya pendakian dilanjutkan. Tujuan berikutnya adalah Pos Kalimati. Dan untuk menuju ke tempat ini, perkiraan waktu tempuh adalah 2,5 jam. Cahaya senter mulai menyala, berusaha menembus kegelapan. Kabut yang menyungkupi danau dan sekitarnya menyebabkan jarak pandang terbatas. Jalur pendakian pun menjadi cukup sukar ditemukan, termasuk jalur menuju tanjakan yang terkenal itu. Ya, Tanjakan Cinta! Tanjakan cinta merupakan jalur menanjak yang terlampau tinggi menuju sebuah puncak bukit. Konon, siapa saja yang berhasil mendaki tanjakan ini tanpa berhenti dan menoleh ke belakang, maka segala permohonannya mengenai percintaan akan terpenuhi. Sekalipun terlihat tak terlampau jauh dan tinggi, namun mendaki Tanjakan Cinta tanpa berhenti rasanya teramat sukar. Langkah kaki pastinya akan memberat karena kelelahan, nafaspun pasti memburu. Lagi pula leher rasanya juga selalu ingin menoleh ke belakang, menyaksikan Ranu Kumbolo yang begitu indah. Tiba di Tanjakan Cinta, terlihat di hadapan sebuah pemandangan yang lagi-lagi membuat hati semakin berdesir. Ya, sebuah padang savana luas yang dikelilingi perbukitan, dinamakan Oro-Oro Ombo. Padang rumput mirip sebuah mangkok berisikan hamparan rumput berwarna kekuning-kuningan. Namun pada musim-musim tertentu, rumput-rumput ini seringkali terbakar. Menyusuri jalan setapak di lereng bukit sambil menikmati panorama Oro-oro Ombo di bawah sinar purnama adalah salah satu peristiwa yang paling menarik dalam pendakian ini. Setengah jam berselang, langkah kaki mulai memasuki Cemoro Kandang, sebuah hutan cemara setelah Oro-Oro Ombo. Wilayah Cemoro Kandang juga memiliki jalur lumayan landai, sesekali sedikit menanjak dan menurun. Tak berapa lama kemudian terlihat area yang terbuka lagi inilah Pos Jambangan. Pos ini merupakan padang rumput yang banyak ditumbuhi Edelweiss, tumbuhan mentigi dan cemara. Jika cuaca cerah di pagi hari, tempat ini merupakan salah satu spot terbaik untuk melihat Mahameru yang menjulang gagah. Setelah melalui sebuah hutan, maka jalur mulai menurun menuju satu lagi padang rumput yang sangat indah, Pos Kalimati. Kalimati biasanya digunakan sebagai camp terakhir sebelum mendaki puncak Mahameru. Sekitar 500 meter dari tempat ini terdapat mata air bernama Sumber Mani. Terdapat juga pondok yang bisa melindungi pandaki dari sapuan angin. Cahaya purnama yang bersinar terang membuat wilayah Kalimati menjelang pagi buta begitu memesona. Tak lama kemudian pagi menjelang. Jarum jam sudah merapat di angka 4.30. Pantas saja udara terasa sangat dingin membeku. Sebagian rombongan pun memutuskan untuk mengakhiri perjalanannya di Kalimati. Tepat di hadapan kami berdiri gagah sang Mahameru dengan lereng berpasirnya yang menggetarkan. Di atas sana, di bawah vegetasi antara pepohonan dan pasir, terlihat kerlap-kerlip cahaya senter. Pertanda sudah ada tim yang berangkat menuju puncak. Di jam-jam seperti ini, posisi pendaki idealnya memang telah berada di pasir terjal itu. Agar mendapatkan cuaca cerah sekaligus mengejar sunrise ke puncak Mahameru. Hanya 10 menit kami istirahat di Kalimati. Perjalanan dilanjutkan dengan membawa perbekalan seadanya. Makanan ringan, sebotol air mineral, jaket tebal, raincoat, dan kamera tentunya. Track dari Kalimati menuju puncak Mahameru tentu saja terjal dan menanjak. Segenap kekuatan fisik dan semangat pun dikerahkan demi menaiki setiap tanjakan yang ada. Satu jam mendaki, cuaca mulai berubah. Garis kekuningan dari arah timur mulai tampak. Pertanda sang surya mulai terbit menerangi bumi. Tiba-tiba dari arah puncak terlihat kepulan asap membumbung tinggi. Tak seperti biasanya, letusan yang kini lebih besar, gumpalan asapnya jauh lebih banyak. Sekilas muncul rasa takut kalau-kalau awan panasnya akan turun ke arah jalur pendakian. Niat pun kembali dikuatkan. ”Puncak bukanlah segalanya, yang terpenting adalah prosesnya,” sebuah kalimat singkat bersuara dalam batin Misteri, meneguhkan hati untuk terus melangkah dan menikmati perjalanan. Sekitar pukul enam pagi, kaki-kaki yang tersisa menjejak Arcopodo. Selain Kalimati, tempat ini juga sering digunakan pendaki sebagai camp terakhir menuju puncak. Tentu saja jarak menuju puncak lebih pendek bila dibandingkan harus mendaki dari Kalimati. Arcopodo terletak pada ketinggian 2.900 mdpl. Dinamakan Arcopodo karena dulu ada dua buah arca, Ganesha dan Dewa Wisnu. Namun arca-arca itu kini telah hilang. Terdapat beberapa tanah landai di Arcopodo yang cukup ideal untuk mendirikan tenda. Namun kondisi tanah Arcopodo tak begitu stabil dan sering longsor. Juga banyak pasir dan debu berterbangan yang mengganggu pernafasan. Sekitar 10 menit selepas Arcopodo terlihat banyak batu nisan dan batu peringatan bagi yang meninggal di Gunung Semeru. Sesaat mengingatkan agar lebih berhati-hati dalam melangkah dan bersikap. Jalur yang ditempuh kali ini jauh lebih curam dari sebelumnya, jurang menganga di kiri dan kanan. Tanah yang dipijak pun mudah sekali longsor. Begitu sampai di batas vegetasi, jalur pun kian terjal dengan sudut kemiringan hingga 60 derajat. Langkah kaki terseok, dua langkah naik, satu langkah merosot. Bahkan hanya sekali melangkah, bisa merosot jauh ke bawah. Lereng pasir Mahameru benar-benar menguras fisik dan mental. Ada sebuah pohon Cemara yang berdiri sendiri di antara pasir dan batu kerikil, namanya Cemoro Tunggal. Dari tempat ini, pemandangan sudah begitu indah menakjubkan. Jalur pendakian yang dilewati semalam terlihat jauh di bawah. Padang rumput Oro-Oro Ombo, Jambangan, dan Kalimati nampak begitu memesona. Hanya semangat dan asa yang membuat kaki masih bisa melangkah saat itu. Runtuhnya bebatuan yang diinjak dan dipegang sungguh membuat fisik drop. Embusan angin kencang menerpa tubuh, menerbangkan pasir ke udara. Dinginnya merasuk lewat telinga, membekukan pipi dan bibir. Sesaat menggoyangkan semangat untuk terus menggapai puncak. ”500 meter – Puncak Mahameru”. Hmm, papan petunjuk itu sudah terlewati satu jam silam. Namun puncak rasanya tak kunjung mendekat. Karena kelelahan kami putuskan untuk istirahat. Di timur terlihat pegunungan Argopuro dan Gunung Raung. Di barat berdiri megah Gunung Arjuno dan Welirang. Di barat tampak lautan pasir dan pegunungan Bromo. Perlahan tapi pasti pemandangan menakjubkan itu tertutup awan. Kabut pun tiba-tiba naik menyapu lereng pasir Semeru. Tak tampak apa-apa lagi kini. Hanya kabut, pasir, dan kerikil. Saatnya bergegas menuju puncak. Hari menjelang siang saat menginjakkan kaki di puncak Mahameru. Segenap rasa syukur adalah yang pertama kali teringat ketika mampu berpijak di ketinggian 3.676 mdpl, puncak tertinggi Pulau Jawa ini. Puncak yang diyakini masyarakat Hindu sebagai singgasana para dewa. Kawah Jonggring Saloko yang biasanya meletupkan asap sekitar 20 menit sekali tampak tenang. Akhir-akhir ini dia memang seperti tertidur. Penduduk Ranupani menuturkan jika Mahameru meletup rata-rata hanya sekali sehari dalam satu bulan terakhir. Dua bendera merah putih yang telah robek berkibar gagah. Menggugah rasa patriotisme dan kebanggaan sebagai anak negeri. Berdekatan dengan itu, terdapat batu peringatan Sok Hok Gie dan Idhan Lubis yang meninggal di tempat ini akibat menghirup gas beracun 38 tahun silam. Ya, kami pun harus cepat-cepat turun. Karena laju angin yang membawa wedus gembel (awan panas) dan gas beracun dari kawah Jonggring Saloko selepas siang hari akan mengarah ke puncak dan jalur pendakian. Perjalanan turun dari puncak menuju Cemoro Tunggal hingga batas vegetasi menempuh jarak yang sangat cepat. Kami berlari-lari menuruni lereng pasir yang terjal seperti bermain ski. Jalur pasir yang tadinya begitu berat ini menjelma menjadi sangat menyenangkan saat turun. Tentunya harus hati-hati dalam memilih jalur jika tak ingin tersesat atau terlempar ke jurang. Tidak lebih 60 menit, kami telah melewati batas vegetasi. Kondisi fisik yang menurun membuat kaki menjadi lemah saat berpijak turun. Kurang dari dua jam kemudian, sampailah di Pos Kalimati. Usai istirahat dan bersantap siang di dalam pondok, perjalanan dilanjutkan. Trekking dari Kalimati menuju Ranu Kombolo menjadi sangat membahagiakan hati karena terus menerus disuguhkan pemandangan alam yang sukar ditandingi keindahannya. Bunga-bunga Edelweiss tampak baru mekar menguning, cantik sekali. Tiba di Ranu Kumbolo, hari telah beranjak sore. Mudah ditebak, danau ini tetap dalam selimut kabutnya. Matahari lamban laun lenyap, bulan pun tak kunjung datang. Cuaca malam itu jauh lebih gelap dari malam sebelumnya. Perjalanan terus menyusuri perbukitan dari Ranu Kumbolo menuju Ranupani. Akhirnya mendekati pukul delapan malam, kami pun tiba kembali di desa Ranupani. Petualangan ini memang harus berakhir, namun kenangannya akan tetap terlukis dalam jiwa yang tak berkesudahan. Seabadi puncak para dewa. Foto-foto: Itong R. Hariadi & Herman Tanjung BOKS I: MAHAMERU BAPAKNYA GUNUNG AGUNG Gunung Semeru sering disebut Mahameru. Dia adalah gunung tertinggi di Pulau Jawa, 3.676 meter dpl (diatas permukan laut). Terletak di antara wilayah Kabupaten Malang dan Lumajang, dengan lokasi geografi antara 8 derajat celcius 06 LS den 120 derakat celcius 55’ BT. Semeru termasuk dalam kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Taman Nasional ini terdiri dari pegunungan dan lembah seluas 50.273,3 Hektar. Terdapat beberapa gunung di dalam kaldera Tengger, antara lain Gunung Bromo (2.392m), Gunung Batok (2.470m), Gunung Kursi (2.581m), Gunung Watangan (2.662m), dan Gunung Widodaren (2.650m). Terdapat empat buah danau (ranu), yaitu Ranupani, Ranu Regulo, Ranu Kumbolo, dan Ranu Darungan. Secara umum iklim di wilayah Gunung Semeru termasuk type iklim B (Schmidt dan Ferguson) dengan curah hujan 927 mm – 5.498 mm per tahun dengan musim hujan jatuh pada bulan November – April. Suhu rata-rata berkisar antara 3 derajat celcius hingga 8 derajat celcius dibawah nol pada malam dan dini hari. Kadang-kadang pada beberapa daerah terjadi hujan es dan salju kecil. Semeru memiliki ragam jenis flora, didominasi pohon cemara, akasia, pinus, anggrek endernik, jenis jamuju, kirinyuh, alang-alang, tembelekan, harendong, dan Edelweiss putih. Sedangkan fauinayang menghuni adalah Macam Kumbang, Budeng, Luwak, Kijang, Kancil, Belibis dan lainnya. Puncak Mahameru dipercayai masyarakat Hindu sebagai singgasana para dewa, serta sarana penghubung antara bumi (manusia) dan Kayangan. Menurut orang Bali, Mahameru dipercayai sebagai Bapak Gunung Agung di Bali dan dihormati oleh masyarakat Bali. Upacara sesaji kepada dewa-dewa Mahameru dilakukan oleh orang Bali setiap 8-12 tahun sekali. Hanya pada waktu orang menerima suara gaib dari Gunung Mahameru. BOKS II: KEANGKERAN ORO-ORO OMBO Konon, gunung tertinggi di Pulau Jawa ini dipercaya sebagai sentral kekuatan gaib di tanah Jawa. Hampir seluruh kerajaan gaib yang berada di kawasan ini pusatnya terletak di Gunung Semeru. Tak heran, jika mulai kaki hingga puncaknya, gunung ini dikenal angker. Gunung ini juga kerap meminta tumbal. Tak sedikit para pendaki yang hilang misterius saat hendak menaklukkan puncaknya. Beberapa pesawat terbang juga ikut raib saat melintas di atasnya. Dan, hingga kini tidak pernah ada kabar beritanya. Salah satu kawasan yang dikenal angker di Gunung Semeru adalah Oro-Oro Ombo. Padang rumput mirip sebuah mangkok berisikan hamparan rumput ini dikenal penduduk Desa Ranupani memiliki aura mistik sangat tinggi, bahkan angker. Tak salah jika penduduk setempat sangat mengkeramatkan padang rumput ini. Sebagai kawasan yang terbilang angker, padang rumput ini menyimpan beragam kisah mistis yang membuat bulu kuduk merinding. Salah satunya adalah pagelaran gending gaib mirip gamelan pagelaran wayang kulit. Menurut sumber Misteri, suara gamelan mirip pagelaran wayang kulit itu selalu terdengar terutama pada waktu-waktu tertentu. Diantaranya pada bulan sura, atau saat menjelang diadakannya pemilihan kepala daerah di dua kabupaten. Bunyi gending pagelaran wayang kulit itu dapat didengar oleh telinga biasa, sehingga bagi penduduk Desa Ranupani, sebagai wilayah paling dekat dengan kawasan Gunung Semeru, bunyi-bunyian yang tidak ada bentuknya itu sudah merupakan kejadian biasa. ”Masyarakat sini memang sudah tidak aneh lagi. Kalau tiba-tiba dari kawasan Gunung Semeru terdengar suara gamelan mirip pagelaran wayang, itu memang sedang ada pegelaran, tapi yang main bukan manusia melainkan mahkluk gaib,” ujar lelaki yang medok dengan dialek Jawanya ini pada Misteri. Selain bunyi-bunyian gamelan, suara orang yang seperti sedang mendalang juga ikut mewarnai pagelaran gaib tersebut. ”Pokoknya suaranya persis dalang, makanya warga sini sering menganggap kalau pagelaran itu merupakan pagelaran wayang kulit dari alam gaib,” terang lelaki berkumis, menyudahi penuturannya pada Misteri.
Loading