Semilir angin malam itu terasa begitu dingin
membelai wajah. Kami melangkahkan kaki di tanah berpasir Desa Ranupani.
Cuaca sangat cerah, gemintang tampak berkilauan menghiasi langit yang
bersih. Sementara sinar lembut terpancar dari rembulan yang membulat
sempurna. Ya, sungguh cuaca yang bagus untuk memulai pendakian.
Benang-benang keberanian dan asa mulai dirajut. Berani melawan rasa
lelah dan dingin yang mendera. Serta asa untuk menggapai puncak
tertinggi di Pulau Jawa, Mahameru. Ikuti perjalanan Tim Jelajah Misteri
berikut ini….
Bait demi bait lagi ”Mahameru” Dewa 19 lamat-lamat mengiang di
telinga saat packing perbekalan di Desa Ranupani. Desa yang
berketinggian 2.200 mdpl ini memiliki suhu yang sangat dingin. Menurut
penduduk setempat, suhu di tempat ini bisa mencapai minus 2 derajat
celcius pada pagi hari. Ranupani merupakan pintu rimba menuju Gunung
Semeru, selain jalur Perkebunan Teh Kertowono, Lumajang, yang jarang
dilalui. Para pendaki yang ingin merasakan segarnya alam Gunung Semeru
biasanya memulai pendakian dari Ranupani menuju Ranu Kumbolo melalui
Watu Rejeng. Rombongan dari komunitas Pangrango yang berjumlah 27 orang,
termasuk Misteri di dalamnya, saat itu terpisah menjadi dua. Rombongan
pertama yang berangkat pukul 4 sore memilih untuk melalui jalur Gunung
Ayek-Ayek. Jalur ’potong kompas’ ini jauh lebih curam dan menanjak
dibanding jalur Watu Rejeng yang memang jauh dan melipir banyak bukit.
Waktu yang ditempuh untuk sampai Ranu Kumbolo lewat Gunung Ayek-Ayek
hanya berkisar 2,5 jam. Bandingkan dengan jalur Watu Rejeng yang bisa
memakan waktu hingga 4 jam. Rombongan kedua yang berangakat pukul 8
malam memilih jalur normal, yaitu Watu Rejeng. Tak salah jika ada yang
mengatakan bahwa satu jam pertama merupakan salah satu yang terberat
dalam pendakian. Kemampuan fisik masih dalam tahap adaptasi. Nafas
memburu tak teratur, langkah kaki pun belum stabil. Memasuki satu jam
berikutnya, barulah kondisi mulai membaik. Jalur menuju Ranu Kumbolo via
Watu Rejeng cukup jelas dan landai. Menyusuri lereng perbukitan, dengan
kondisi kanan bukit dan kiri jurang. Sekalipun cukup mudah, banyaknya
pohon tumbang dan ranting-ranting yang menghalang jalur membuat pendaki
harus hati-hati dalam melangkah. Syukurlah malam itu bulan bercayaha
begitu terang sehingga sangat membantu menerangi jalan setapak. Sekitar 5
kilometer perjalanan, sampailah kami di Pos Watu Rejeng. Di tempat ini
terlihat tebing batu yang sangat kokoh dan menawan. Sementara di sisi
kiri terhampar begitu indah bukit-bukit dan lembah yang ditumbuhi
cemara. Sinar purnama membuat panorama malam itu benar-benar
mengagumkan. Memasuki tengah malam, sebuah lembah yang tertutup kabut
tebal terlihat di bawah sana. Itulah Ranu Kumbolo, danau cantik di
antara lembah yang selalu berselimut kabut. Kendati telah terlihat,
untuk menuju danau itu ternyata masih cukup jauh. Suhu yang kian dingin
membuat tubuh tak kuat berlama-lama dalam diam. Kaki pun mengayuh lebih
cepat menuruni bukit, memapas kabut menuju Ranu Kumbolo. Di ketinggian
2.390 mdpl dengan luas sekitar 8 ha. Ranu Kumbolo memang nampak sangat
indah. Airnya yang bersih membuat danau ini menjadi sumber minum para
pendaki. Ikannya pun cukup banyak, tampaknya menyenangkan sekali
memancing di tempat ini. Pada pagi hari jika cuaca cerah pemandangan
danau ini sungguh tak henti-hentinya menuai decak kagum. Terkadang
muncul barisan burung belibis di permukaan airnya yang kian menambah
damai suasana. Namun hampir sepanjang hari Ranu Kumbolo selalu
berselimut kabut. Hal ini membuat suhu di wilayah ini begitu dingin
menusuk tulang. Di pagi hari suhunya bisa mencapai minus enam dejarat
celcius membuat embun membeku menjadi es. Malam itu kobaran api unggun
di tepi Ranu Kumbolo benar-benar membuat tubuh hangat. Terasa nyaman
sekali duduk santai sambil bercengkerama di tempat ini. Apalagi ditambah
dengan segelas susu hangat dan makanan ringan. Canda tawa pun terlontar
di tengah dinginnya selimut kabut Ranu Kumbolo. Kaki-kaki yang sudah
berjalan kurang lebih 4 jam kami luruskan, tubuh pun beristirahat.
Beberapa tenda telah terpasang, sebagian dari rombongan memutuskan untuk
stay dan bermalam di tepi danau. Tak terasa waktu telah menunjuk
pukul dua dinihari. Saatnya pendakian dilanjutkan. Tujuan berikutnya
adalah Pos Kalimati. Dan untuk menuju ke tempat ini, perkiraan waktu
tempuh adalah 2,5 jam. Cahaya senter mulai menyala, berusaha menembus
kegelapan. Kabut yang menyungkupi danau dan sekitarnya menyebabkan jarak
pandang terbatas. Jalur pendakian pun menjadi cukup sukar ditemukan,
termasuk jalur menuju tanjakan yang terkenal itu. Ya, Tanjakan Cinta!
Tanjakan cinta merupakan jalur menanjak yang terlampau tinggi menuju
sebuah puncak bukit. Konon, siapa saja yang berhasil mendaki tanjakan
ini tanpa berhenti dan menoleh ke belakang, maka segala permohonannya
mengenai percintaan akan terpenuhi. Sekalipun terlihat tak terlampau
jauh dan tinggi, namun mendaki Tanjakan Cinta tanpa berhenti rasanya
teramat sukar. Langkah kaki pastinya akan memberat karena kelelahan,
nafaspun pasti memburu. Lagi pula leher rasanya juga selalu ingin
menoleh ke belakang, menyaksikan Ranu Kumbolo yang begitu indah. Tiba
di Tanjakan Cinta, terlihat di hadapan sebuah pemandangan yang lagi-lagi
membuat hati semakin berdesir. Ya, sebuah padang savana luas yang
dikelilingi perbukitan, dinamakan Oro-Oro Ombo. Padang rumput mirip
sebuah mangkok berisikan hamparan rumput berwarna kekuning-kuningan.
Namun pada musim-musim tertentu, rumput-rumput ini seringkali terbakar.
Menyusuri jalan setapak di lereng bukit sambil menikmati panorama
Oro-oro Ombo di bawah sinar purnama adalah salah satu peristiwa yang
paling menarik dalam pendakian ini. Setengah jam berselang, langkah
kaki mulai memasuki Cemoro Kandang, sebuah hutan cemara setelah Oro-Oro
Ombo. Wilayah Cemoro Kandang juga memiliki jalur lumayan landai,
sesekali sedikit menanjak dan menurun. Tak berapa lama kemudian terlihat
area yang terbuka lagi inilah Pos Jambangan. Pos ini merupakan padang
rumput yang banyak ditumbuhi Edelweiss, tumbuhan mentigi dan cemara.
Jika cuaca cerah di pagi hari, tempat ini merupakan salah satu spot
terbaik untuk melihat Mahameru yang menjulang gagah. Setelah melalui
sebuah hutan, maka jalur mulai menurun menuju satu lagi padang rumput
yang sangat indah, Pos Kalimati. Kalimati biasanya digunakan sebagai
camp terakhir sebelum mendaki puncak Mahameru. Sekitar 500 meter dari
tempat ini terdapat mata air bernama Sumber Mani. Terdapat juga pondok
yang bisa melindungi pandaki dari sapuan angin. Cahaya purnama yang
bersinar terang membuat wilayah Kalimati menjelang pagi buta begitu
memesona. Tak lama kemudian pagi menjelang. Jarum jam sudah merapat di
angka 4.30. Pantas saja udara terasa sangat dingin membeku. Sebagian
rombongan pun memutuskan untuk mengakhiri perjalanannya di Kalimati.
Tepat di hadapan kami berdiri gagah sang Mahameru dengan lereng
berpasirnya yang menggetarkan. Di atas sana, di bawah vegetasi antara
pepohonan dan pasir, terlihat kerlap-kerlip cahaya senter. Pertanda
sudah ada tim yang berangkat menuju puncak. Di jam-jam seperti ini,
posisi pendaki idealnya memang telah berada di pasir terjal itu. Agar
mendapatkan cuaca cerah sekaligus mengejar sunrise ke puncak Mahameru.
Hanya 10 menit kami istirahat di Kalimati. Perjalanan dilanjutkan dengan
membawa perbekalan seadanya. Makanan ringan, sebotol air mineral, jaket
tebal, raincoat, dan kamera tentunya. Track dari Kalimati menuju puncak
Mahameru tentu saja terjal dan menanjak. Segenap kekuatan fisik dan
semangat pun dikerahkan demi menaiki setiap tanjakan yang ada. Satu jam
mendaki, cuaca mulai berubah. Garis kekuningan dari arah timur mulai
tampak. Pertanda sang surya mulai terbit menerangi bumi. Tiba-tiba dari
arah puncak terlihat kepulan asap membumbung tinggi. Tak seperti
biasanya, letusan yang kini lebih besar, gumpalan asapnya jauh lebih
banyak. Sekilas muncul rasa takut kalau-kalau awan panasnya akan turun
ke arah jalur pendakian. Niat pun kembali dikuatkan. ”Puncak bukanlah
segalanya, yang terpenting adalah prosesnya,” sebuah kalimat singkat
bersuara dalam batin Misteri, meneguhkan hati untuk terus melangkah dan
menikmati perjalanan. Sekitar pukul enam pagi, kaki-kaki yang tersisa
menjejak Arcopodo. Selain Kalimati, tempat ini juga sering digunakan
pendaki sebagai camp terakhir menuju puncak. Tentu saja jarak menuju
puncak lebih pendek bila dibandingkan harus mendaki dari Kalimati.
Arcopodo terletak pada ketinggian 2.900 mdpl. Dinamakan Arcopodo karena
dulu ada dua buah arca, Ganesha dan Dewa Wisnu. Namun arca-arca itu kini
telah hilang. Terdapat beberapa tanah landai di Arcopodo yang cukup
ideal untuk mendirikan tenda. Namun kondisi tanah Arcopodo tak begitu
stabil dan sering longsor. Juga banyak pasir dan debu berterbangan yang
mengganggu pernafasan. Sekitar 10 menit selepas Arcopodo terlihat
banyak batu nisan dan batu peringatan bagi yang meninggal di Gunung
Semeru. Sesaat mengingatkan agar lebih berhati-hati dalam melangkah dan
bersikap. Jalur yang ditempuh kali ini jauh lebih curam dari sebelumnya,
jurang menganga di kiri dan kanan. Tanah yang dipijak pun mudah sekali
longsor. Begitu sampai di batas vegetasi, jalur pun kian terjal dengan
sudut kemiringan hingga 60 derajat. Langkah kaki terseok, dua langkah
naik, satu langkah merosot. Bahkan hanya sekali melangkah, bisa merosot
jauh ke bawah. Lereng pasir Mahameru benar-benar menguras fisik dan
mental. Ada sebuah pohon Cemara yang berdiri sendiri di antara pasir dan
batu kerikil, namanya Cemoro Tunggal. Dari tempat ini, pemandangan
sudah begitu indah menakjubkan. Jalur pendakian yang dilewati semalam
terlihat jauh di bawah. Padang rumput Oro-Oro Ombo, Jambangan, dan
Kalimati nampak begitu memesona. Hanya semangat dan asa yang membuat
kaki masih bisa melangkah saat itu. Runtuhnya bebatuan yang diinjak dan
dipegang sungguh membuat fisik drop. Embusan angin kencang menerpa
tubuh, menerbangkan pasir ke udara. Dinginnya merasuk lewat telinga,
membekukan pipi dan bibir. Sesaat menggoyangkan semangat untuk terus
menggapai puncak. ”500 meter – Puncak Mahameru”. Hmm, papan petunjuk itu
sudah terlewati satu jam silam. Namun puncak rasanya tak kunjung
mendekat. Karena kelelahan kami putuskan untuk istirahat. Di timur
terlihat pegunungan Argopuro dan Gunung Raung. Di barat berdiri megah
Gunung Arjuno dan Welirang. Di barat tampak lautan pasir dan pegunungan
Bromo. Perlahan tapi pasti pemandangan menakjubkan itu tertutup awan.
Kabut pun tiba-tiba naik menyapu lereng pasir Semeru. Tak tampak apa-apa
lagi kini. Hanya kabut, pasir, dan kerikil. Saatnya bergegas menuju
puncak. Hari menjelang siang saat menginjakkan kaki di puncak Mahameru.
Segenap rasa syukur adalah yang pertama kali teringat ketika mampu
berpijak di ketinggian 3.676 mdpl, puncak tertinggi Pulau Jawa ini.
Puncak yang diyakini masyarakat Hindu sebagai singgasana para dewa.
Kawah Jonggring Saloko yang biasanya meletupkan asap sekitar 20 menit
sekali tampak tenang. Akhir-akhir ini dia memang seperti tertidur.
Penduduk Ranupani menuturkan jika Mahameru meletup rata-rata hanya
sekali sehari dalam satu bulan terakhir. Dua bendera merah putih yang
telah robek berkibar gagah. Menggugah rasa patriotisme dan kebanggaan
sebagai anak negeri. Berdekatan dengan itu, terdapat batu peringatan Sok
Hok Gie dan Idhan Lubis yang meninggal di tempat ini akibat menghirup
gas beracun 38 tahun silam. Ya, kami pun harus cepat-cepat turun. Karena
laju angin yang membawa wedus gembel (awan panas) dan gas beracun dari
kawah Jonggring Saloko selepas siang hari akan mengarah ke puncak dan
jalur pendakian. Perjalanan turun dari puncak menuju Cemoro Tunggal
hingga batas vegetasi menempuh jarak yang sangat cepat. Kami
berlari-lari menuruni lereng pasir yang terjal seperti bermain ski.
Jalur pasir yang tadinya begitu berat ini menjelma menjadi sangat
menyenangkan saat turun. Tentunya harus hati-hati dalam memilih jalur
jika tak ingin tersesat atau terlempar ke jurang. Tidak lebih 60 menit,
kami telah melewati batas vegetasi. Kondisi fisik yang menurun membuat
kaki menjadi lemah saat berpijak turun. Kurang dari dua jam kemudian,
sampailah di Pos Kalimati. Usai istirahat dan bersantap siang di dalam
pondok, perjalanan dilanjutkan. Trekking dari Kalimati menuju Ranu
Kombolo menjadi sangat membahagiakan hati karena terus menerus
disuguhkan pemandangan alam yang sukar ditandingi keindahannya.
Bunga-bunga Edelweiss tampak baru mekar menguning, cantik sekali. Tiba
di Ranu Kumbolo, hari telah beranjak sore. Mudah ditebak, danau ini
tetap dalam selimut kabutnya. Matahari lamban laun lenyap, bulan pun tak
kunjung datang. Cuaca malam itu jauh lebih gelap dari malam sebelumnya.
Perjalanan terus menyusuri perbukitan dari Ranu Kumbolo menuju
Ranupani. Akhirnya mendekati pukul delapan malam, kami pun tiba kembali
di desa Ranupani. Petualangan ini memang harus berakhir, namun
kenangannya akan tetap terlukis dalam jiwa yang tak berkesudahan.
Seabadi puncak para dewa. Foto-foto: Itong R. Hariadi & Herman
Tanjung BOKS I: MAHAMERU BAPAKNYA GUNUNG AGUNG Gunung Semeru sering
disebut Mahameru. Dia adalah gunung tertinggi di Pulau Jawa, 3.676
meter dpl (diatas permukan laut). Terletak di antara wilayah Kabupaten
Malang dan Lumajang, dengan lokasi geografi antara 8 derajat celcius 06
LS den 120 derakat celcius 55’ BT. Semeru termasuk dalam kawasan Taman
Nasional Bromo Tengger Semeru. Taman Nasional ini terdiri dari
pegunungan dan lembah seluas 50.273,3 Hektar. Terdapat beberapa gunung
di dalam kaldera Tengger, antara lain Gunung Bromo (2.392m), Gunung
Batok (2.470m), Gunung Kursi (2.581m), Gunung Watangan (2.662m), dan
Gunung Widodaren (2.650m). Terdapat empat buah danau (ranu), yaitu
Ranupani, Ranu Regulo, Ranu Kumbolo, dan Ranu Darungan. Secara umum
iklim di wilayah Gunung Semeru termasuk type iklim B (Schmidt dan
Ferguson) dengan curah hujan 927 mm – 5.498 mm per tahun dengan musim
hujan jatuh pada bulan November – April. Suhu rata-rata berkisar antara 3
derajat celcius hingga 8 derajat celcius dibawah nol pada malam dan
dini hari. Kadang-kadang pada beberapa daerah terjadi hujan es dan salju
kecil. Semeru memiliki ragam jenis flora, didominasi pohon cemara,
akasia, pinus, anggrek endernik, jenis jamuju, kirinyuh, alang-alang,
tembelekan, harendong, dan Edelweiss putih. Sedangkan fauinayang
menghuni adalah Macam Kumbang, Budeng, Luwak, Kijang, Kancil, Belibis
dan lainnya. Puncak Mahameru dipercayai masyarakat Hindu sebagai
singgasana para dewa, serta sarana penghubung antara bumi (manusia) dan
Kayangan. Menurut orang Bali, Mahameru dipercayai sebagai Bapak Gunung
Agung di Bali dan dihormati oleh masyarakat Bali. Upacara sesaji kepada
dewa-dewa Mahameru dilakukan oleh orang Bali setiap 8-12 tahun sekali.
Hanya pada waktu orang menerima suara gaib dari Gunung Mahameru. BOKS
II: KEANGKERAN ORO-ORO OMBO Konon, gunung tertinggi di Pulau Jawa ini
dipercaya sebagai sentral kekuatan gaib di tanah Jawa. Hampir seluruh
kerajaan gaib yang berada di kawasan ini pusatnya terletak di Gunung
Semeru. Tak heran, jika mulai kaki hingga puncaknya, gunung ini dikenal
angker. Gunung ini juga kerap meminta tumbal. Tak sedikit para pendaki
yang hilang misterius saat hendak menaklukkan puncaknya. Beberapa
pesawat terbang juga ikut raib saat melintas di atasnya. Dan, hingga
kini tidak pernah ada kabar beritanya. Salah satu kawasan yang dikenal
angker di Gunung Semeru adalah Oro-Oro Ombo. Padang rumput mirip sebuah
mangkok berisikan hamparan rumput ini dikenal penduduk Desa Ranupani
memiliki aura mistik sangat tinggi, bahkan angker. Tak salah jika
penduduk setempat sangat mengkeramatkan padang rumput ini. Sebagai
kawasan yang terbilang angker, padang rumput ini menyimpan beragam kisah
mistis yang membuat bulu kuduk merinding. Salah satunya adalah
pagelaran gending gaib mirip gamelan pagelaran wayang kulit. Menurut
sumber Misteri, suara gamelan mirip pagelaran wayang kulit itu selalu
terdengar terutama pada waktu-waktu tertentu. Diantaranya pada bulan
sura, atau saat menjelang diadakannya pemilihan kepala daerah di dua
kabupaten. Bunyi gending pagelaran wayang kulit itu dapat didengar oleh
telinga biasa, sehingga bagi penduduk Desa Ranupani, sebagai wilayah
paling dekat dengan kawasan Gunung Semeru, bunyi-bunyian yang tidak ada
bentuknya itu sudah merupakan kejadian biasa. ”Masyarakat sini memang
sudah tidak aneh lagi. Kalau tiba-tiba dari kawasan Gunung Semeru
terdengar suara gamelan mirip pagelaran wayang, itu memang sedang ada
pegelaran, tapi yang main bukan manusia melainkan mahkluk gaib,” ujar
lelaki yang medok dengan dialek Jawanya ini pada Misteri. Selain
bunyi-bunyian gamelan, suara orang yang seperti sedang mendalang juga
ikut mewarnai pagelaran gaib tersebut. ”Pokoknya suaranya persis dalang,
makanya warga sini sering menganggap kalau pagelaran itu merupakan
pagelaran wayang kulit dari alam gaib,” terang lelaki berkumis,
menyudahi penuturannya pada Misteri.