Sebagai laki-laki normal yang beranjak remaja. Ada keinginan untuk
memiliki pacar. Namun saat mengatakan cinta pada wanita, mendadak
wanita itu langsung jatuh sakit dan berteriak bagai orang kesurupan.
Selanjutnya mencaci maki dengan kata-kata kotor dan selanjutnya menjauh
dari saya.
Menjalani kehidupan normal dengan batasan-batasan tertentu layaknya
hidup seperti kebanyakan orang sangat terasa nyaman dan menyegarkan.
Adanya rasa lapar, haus, makan dan minum, lelah dan kantuk hingga
tertidur disertai mimpi tak ubahnya kita hidup dengan batasan dan
memanjatkan rasa syukur dikaruniai berbagai nikmat dengan fenomena
kehidupan indah tanpa beban lain selain beban untuk menyertakan
kehidupan sehari-hari hingga akhirnya ajal menjemput kita kemudian
menghadap Sang Maha Pencipta, diadili sekaligus mempertanggung jawabkan
seluruh perbuatan kita selama hidup didunia.
Kesadaran akan hidup normal ini lahir ketika saya serasa jenuh
berhubungan dengan sosok halus dalam indera saya dan terus mengikuti
saya serta selalu ikujt campur manakala saya berhadapan dengan sesuatu
masalah pelik hingga menimbulkan korban.
Perkenalkan saya bernama Hamid. Hampir seluruh orang di sekeliling
menyebut saya tak ubahnya orang gila karena terkadang menemui saya
sedang berbicara dengan sesuatu yang menurut pendapat mereka tidak ada.
Padahal saya jelas-jelas sedang berbicara pada makhluk gaib. Saya
menyadari mereka tidak melihat karena tidak memiliki kemampuan untuk
menembusnya. Meski ada beberapa orang mengaku paranormal atau merasa
mampu menembusnya tetapi menurut saya hanya sebatas meraba-raba atau
rekaan saja sebab buktinya mereka tidak bisa berkomunikasi dengan
makhluk yang ada dalam indera saya.
Sungguh kehidupan ganjil selama hampir tiga puluh tahun saya jalani.
Keluarga dan sanak famili terasa sangat terasing dalam kehidupan saya
hingga akhirnya secara tidak sengaja ada sesuatu yang menggiring saya
kealam sadar dan seterusnya menjalani kehidupan ini dalam keadaan
normal.
Awalnya, saya lahir di pelosok desa di Bekasi Utara 45 tahun silam.
Kehidupan yang serba pas-pasan membuat saya sepulang sekolah saat
berusia 7 tahun seringkali membantu bapak mencangkul disawah milik
tetangga. Seperti biasanya sepulang sekolah pertengahan hari, setelah
makan seadanya, ganti baju kemudian mengambil arit menuju sawah tempat
bapak bekerja. Untuk menempuhnyan berjarak sekitar dua kilometer
melalui perkebunan lebat layaknya seperti hutan belukar.
Dalam perjalanan, saya kerap menengok keatas pepohonan sambil sesekali
bersiul ingin mengajakburung yang hinggap diatas pohon ikut bersiul
atau berkicau. Belum separuh perjalanan, saat bersiul, serasa ada
sesuatu terbang diatas kepala saya sambil menyapa halus,
“Hai………..sendirian….” Saya terkejut, arit pun terlepas dari tangan,
langsung menengok ke atas, tampak diatas kepala saya ada makhluk sejenis
burung berkepala manusia berujud perempuan kecil sebaya saya tersenyum
kemudian mendarat ketanah dan seketika itu juga wujudnya berubah
menjadi manusia seperti saya. Entah bagaimana rasa terkejut saya sirna
bahkan menegurnya.
“Kamu siapa?” dia menjawab, sama seperti saya, tinggal di perkebunan ini.
Dia memperkenalkan diri bernama Ranah dan mengajak saya singgah di
rumahnya. Saya manut saja seperti ada sesuatu yang membuat saya turut
apa kemauannya. Mungkin saat itu saya berada dalam alam di bawah sadar.
Sesaat saya sudah tiba di suatu perkampungan tak ubahnya pemukiman
penduduk di kampung saya. Rumahnya memang agak luas, atapnya terbuat
dari daun kelapa, dindingnya dari bilik bambu, tiangnya dari bambu besar
serta berlantai tanah.
Dari dalam rumah keluar bapak dan ibunya menegur saya, menanyakan nama
dan tempat tinggal saya. Setelah saya jawab, tampak kedua raut mukanya
terkejut dan seketika menarik tangan anaknya masuk ke dalam kamarnya.
Entah apa yang dibicarakan mereka tapi saya dengar pelan tampak
bapaknya marah dengan Ranah mengajak saya ke rumahnya. Terdengar pelan
juga Ranah menangis, terdengar suara ibunya membujuk Ranah agar
diam.”Ya sudah jangan nangis, sekarang main sana tapi jangan
macam-macam ya!,” kata ibunya.
Rupanya dalam rumah itu hanya tinggal bertiga dan Ranah anak
satu-satunya. Tak berapa lama ketiganya keluar dari kamar. Bapak dan
ibunya tampak ramah dan meminta saya mengajak Ranah bermain dihalaman
rumah saja dan nanti saya akan diantar pulang. Kembali saya seperti
penurut, sama sekali lupa dengan arit dan niat membantu bapak di sawah.
Bermain juga seperti biasa dengan teman-teman yang lain, tapi Ranah
sepertinya sangat suka bermain dengan saya sebab teman-teman yang
lainnya saat ingin bermain bersama, seketika ditinggalkannya dan
mengajak saya bermain berdua saja hingga sore hari.
Saya diajak makan bersama keluarganya. Saat saya utarakan ingin pulang,
Ranah tidak memberi ijin dan malah menangis kepangkuan ibunya agar
saya tidak boleh pulang dan kembali main bersama. Ibunya menatap saya
dengan senyum, Dan seketika niat untuk pulang pun hilang. Tak terasa
malampun tiba, saya mulai ingat, dalam pemukiman ini kok tak ada suara
azan, beda dengan kampung saya yang setiap waktu sholat terdengar suara
azan. Saya sesekali sholat meski tidak sepenuhnya. Kemungkinan besar
dengan kekuatan ingatan itu lah saya berani mengutarakan kepada ibu dan
bapaknya kalau saya ingin pulang dan ingin sholat serta mengatakan
kalau di kampungnya itu tidak ada mesjid dan mushola. Keduanya langsung
membujuk Ranah agar saya diperbolehkan pulang. Ranah sambil menangis
tetap tidak memperbolehkan saya pulang. Meski ibu dan bapaknya menatap
saya dengan senyum, dan meminta saya agar tidak pulang dulu, saya tetap
bersikeras ingin pulang meski harus sendiri. Sambil berbisik, keduanya
membujuk saya agar sabar sebentar menunggu Ranah diam dan lengah.
Katanya kalau Ranah lengah, saya pasti diantarnya pulang secara
diam-diam. Tampak keduanya gelisah sambil sesekali menghela nafas
panjang. Saya dan Ranah yang masih menangis tak mengerti kegelisahan
mereka. Ranah pun terus dibujuk agar diam. Dan meminta saya turut
membujuknya. Akhirnya Ranahpun tediam atas bujukan saya. Sayapun
kembali bermain meski dalam rumah. Hati saya terus bergejolak ingin
pulang. Dengan kata-kata halus saya bilang kepada Ranah kalau saya
pingin mau pulang karena saya kengen sama bapak dan ibu. Kali ini dia
tidak menangis tetapi ingin ikut dengan saya. Saat itu saya bilang
boleh, sebab bagi saya Ranah tak ubahnya dengan saya serta saya tidak
pernah berpikir tentang hantu dan sebagainya. Ibu dan bapak memang
tidak pernah bercerita tentang hal yang berbau horor.
Ranah juga mengajak saya untuk pulang diam-diam tanpa setahu kedua
orang tuanya. Saya pun sepakat. Maka Ranah bilang sama Ibunya
berpura-pura ingin main dihalaman rumah dan ibunya mengijinkan Sesaat
bermain, ketika keduanya lengah, saya dan Ranah langsung menyelinap ke
dalam kebun yang memang sudah gelap. Saya serasa dituntun oleh Ranah
dan tak sedikitpun kaki saya terkena benturan dengan batu dan
sebagainya. Saya dituntun berjalan seperti di siang hari.
Tak jauh dari rumah saya yang layak disebut gubuk melihat kedua orang
tua saya sedang berdiri di depan pintu bersama beberapa orang tetangga
rumah. Saya pun langsung berteriak memanggil Ibu dan bapak
sekeras-kerasnya. Anehnya keduanya dan yang lainnya seperti tidak
mendengar teriakan saya meski sudah berkali-kali. Saya bilang pada
Ranah kalau itu kedua orang tua saya. Ranah langsung tersenyum dengan
saya dan meminta agar saya memanggil kembali keduanya. Entah bagaimana,
keduanya mendengar dan menyongsong saya pulang sambil Ibu menangis dan
beberapa orang tetangga turut mendatangi saya.
Anehnya saya tidak ikut menangis seperti kebanyakan anak kecil yang
hilang dan baru kembali kerumah. Saya malah tersenyum dan mengatakan
bahwa saya dijalan tadi bertemu dengan teman namanya Ranah dan anehnya
saat saya ingin bercerita lebih lanjut, mulut saya terasa terkunci.
Mereka termasuk bapak dan ibu bilang tidak melihat saya dengan yang
lain kecuali sendiri. Mereka juga heran melihat saya bisa pulang
sendiri tanpa cedera apa-apa. Mulut sayapun seperti kembali terkunci
saat ingin menceritakan hal yang sebenarnya terjadi.
Saat itu Ranah masih tetap di samping saya hingga saya tertidur di
samping ibu. Sesekali saya berbicara dengan Ranah, Ibu langsung menegur
saya. ”Jangan ngigau, hayo lekas tidur, kamu capek habis jalan jauh!”
Bapak dan ibu sedikit pun tidak menegur Ranah seperti tidak melihatnya.
Sayapun oleh Ranah disuruhnya tidur. Saat saya terbangun, Ranah sudah
tidak ada di samping saya. Saya sempat mencarinya keluar rumah, tetapi
tidak ketemu juga. Saat ibu bertanya, saya jawab cari teman yang
semalam mengantar saya, tetapi ibu tak menggubrisnya selain disuruhnya
saya sholat karena kebetulan saat itu sudah menginjak waktu sholat
Dzuhur.
Orang-orang di sekeliling saya seperti tidak melihatnya. Hingga
hari-hari berikutnya setiap kali saya berucap tentang Ranah dan
kampungnya kepada bapak dan ibu serta yang lainnya, mulut saya terasa
terkunci. Sayapun dilarang membantu bapak kalau kebetulan lewat
perkebunan itu.
Sejak saat itu, setiap kali saya bermain dan teringat dengan Ranah,
seketika itu juga Ranah berada didekat saya sambil tersenyum. Saya
saling bercerita tentang keseharian d kampung masing-masing bahkan
tentang kedua orang tua. Ranah juga sempat menyebutkan kalau kedua
orang tuanya sempat marah dengannya dan saya karena kabur pulang ke
rumah saya.
Saat saya tanyakan, kenapa saya bangun pagi, dia tidak ada, dia
mengatakan kalau malam itu kedua orang tuanya datang kerumah saya
menjempunya. Saat akan saya tanyakan pada ibu dan bapak, kembali mulut
ini terasa terkunci rapat.
Waktupun terus berjalan, Saya seringkali ditegur dan dinasehati bahkan
dihardik oleh bapak dan ibu serta tetangga rumah pun kerap menasehati
saya agar saya tidak ngomong sendirian. Padahal saya jelas-jelas sedang
berbicara dengan Ranah. Seperti kejadian sebelumnya, setiap kali akan
menjelaskan, mulut saya selalu terkunci.
Kedua orang tua saya berupaya mengobati saya dengan mendatangkan orang
pintar atau juga disebut paranormal dan beberapa ustadz bahkan tidak
sekali mereka mengadakan acara ritual untuk mengusir setan dan
sebagainya. Setiap kali diadakan pengobatan atau ritual untuk saya,
Ranah memang selalu tidak ada disamping saya sehingga mereka menganggap
kalau saya tidak dirasuki makhluk halus dan menyimpulkan saya ini kena
penyakit jiwa. Saya terus mencoba menerangkan dengan berbagai upaya
termasuk menulis tetapi entah bagaimana saat saya hendak menulis,
tangan saya mendadak tidak bergerak hingga saya bosan mencobanya dan
selanjutnya saya diam tak bias berbuat apa-apa.
Setiap kali bertemu dengan Ranah pun saya lupa menanyakan hal ini
padanya dan kembali ingat saat dia tidak berada disamping saya.
Kelamaan, orang di sekeliling saya tak lagi menggubris perilaku saya
yang dianggap aneh. Keanehan demi keanehan sejak pertemuan dengan Ranah
terus terjadi. Sejak itu beban ekonomi keluarga seperti tidak ada
kesulitan bahkan mulai menanjak. Kedua orang tua saya tidak lagi kerja
seperti dulu menjadi tukang cuci pakaian dan buruh mencangkul di sawah.
Mereka berdagang kelontong kecil-kecilan hingga maju pesat dan
membangun rumah lumayan besar.
Awal perubahan itu ketika saya lulus SD, saya beranikan diri menjadi
tukang parkir liar di persimpangan jalan yang rawan kemacetan. Hasilnya
lumayan buat meneruskan sekolah ke SMP. Saat saya sedang istirahat
melepas lelah di bawah pohon, Ranah muncul menemui saya dan memberikan
uang cukup yang katanya buat modal berdagang.
Karena saat itu saya masih belum mengerti berdagang, uang itu saya
berikan ke bapak dan ibu. Mereka tampak terkejut. Mulut saya pun
terkunci saat ingin menjelaskan asal uang itu hingga seperti ada yang
mengatur mulut saya dan mengucapkan kalau uang itu boleh nemu dijalan.
Akhirnya bapak mau menerima uang itu dan mulailah berdagang kelontong
kecil-kecilan hingga maju pesat. Setiap harinya sarat dengan pembeli.
Entah darimana mereka, sayapun tidak pernah tahu karena kesibukan saya
sekolah dan menjadi tukang parkir liar hingga saya disuruh bapak untuk
berhenti dari pekerjaan itu. Sayapun dimintanya tekun bersekolah.
Keseharian saya di sekolah memang tak ada yang dianggap aneh oleh
teman-teman karena saat-saat itu Ranah memang tak muncul. Saat ketemu
Ranah pun sering berpesan agar saya rajin sekolah dan dia juga sekolah
di kampungnya. Saya dan Ranah seringkali bersenda gurau bahkan pernah
saling marahan lazimnya teman hingga saya dan Ranah beranjak remaja
Sebagai laki-laki yang mulai remaja, hasratnya untuk memiliki pacar pun
timbul. Ketika di SMU, saya melirik wanita yang kebetulan siswi
sekolah dan mulai mengadakan pendekatan. Saat saya mengatakan cinta
padanya, mendadak wanita itu langsung jatuh sakit dan teriak-teriak
seperti orang kesurupan. Dan selanjutnya mencaci maki bahkan sangat
benci serta menjauh dari saya.
Demikian dengan wanita lainnya yang saya dekati selalu terjadi seperti
itu. Bahkan ada beberapa wanita yang sakit dan selanjutnya meninggal
dunia. Saya tidak mengerti kenapa harus terjadi seperti itu. Masyarakat
dikampunng pun geger bahkan di antaranya mencurigai saya orang yang
menyantet wanita-wanita itu.
Akhirnya saya putuskan untuk tidak lagi mendekati wanita meski saya
merasa suka padanya. Dan entah kenapa hasrat kelelakian saya timbul
setiap kali saya lihat sosok wanita namun tertahan oleh tekanan batin
hingga terjadi sesuatu dengan Ranah.
Suatu malam saat kedua orang tua saya tidak ada dirumah, Ranah muncul di hadapan saya.
Di tengah pembicaraan, saya mengatakan kejadian demi kejadian setiap
kali saya mendekati wanita. Ranah mendadak cemberut, saya mulai membaca
perangai Ranah. Rupanya dia cemburu. Saya pandangi dia dengan mata tak
berkedip. Ranah memang cantik. Kulitnya putih langsat dan tubuhnya
lumayan seksi. Saya mulai terpancing dan katakan bahwa saya ingin sekali
punya pacar seperti Ranah. Ranah pun langsung memeluk saya erat dan
menyatakan cinta pada saya. Pelukannya yang hangat membuat hasrat
kelelakian saya timbul. Rongga dada terasa semakin bergejolak penuh
birahi. Saya langsung mencium bibirnya yang mungil. Dia sambut ciuman
saya dengan hangat dan nafasnya yang harum serasa terengah-tengah. Kami
berdua saling memagut. Tangan saya maraba liar ke kanan dan ke kiri
sampai ke tubuh Ranah yang sensitif. Ranah pun terpancing dan melakukan
hal yang sama hingga akhirnya melakukan perbuatan tidak senonoh.
Kehormatan saya dan Ranah lepas dalam kejadian ini.
Namun ini tak membuat saya dan Ranah bosan. Perbuatan itu terus
dilakukan setiap kali ada kesempatan. Hingga pada akhirnya saya mulai
sadar akan perbuatan ini dan ada keinginan dalam benak saya untuk
menikahi Ranah. Sejujurnya saya sangat mencintai dia.
Ketika suatu saat hal ini saya sampaikan pada Ranah, dia tampak
terkejut separuh tersenyum. Dengan ramah dia menjawab kalau dirinya
takkan mungkin melakukan pernikahan dengannya karena dirinya dengan
diri saya berbeda alam. Bahkan selama ini perbuatannya dengan saya
tidak diberitahu kedua orang tuanya, karena ini sangat dilarang.
Menurut hukum adat di alamnya, jika sebangsanya berhubungan intim
kepada manusia, maka akan dibunuh dengan cara-cara kejam dengan
disayat-sayat satu persatu bagian badannya hingga mati dan selanjutnya
dimakan oleh kedua orang tuanya dan saudara-saudaranya.
Mendengar hal ini, saya menjadi ngeri. Namun hal ini tak menyurutkan
langkah saya untuk melamarnya. Bahkan saya utarakan padanya saya ingin
dipertemukan pada kedua orang tuanya yang dulu pernah bertemu ketika
saya kecil. Ranah sambil menangis menyatakan tidak setujunya bahkan dia
mengancam untuk meninggalkan saya selamanya jika saya tetap nekat.
Dikatakannya agar biarlah dia jalani seperti ini dengan saya. Tak lama
kemudian Ranah pamit dan pergi menghilang.
Sesaat setelah Ranah menghilang dari hadapan saya, sayapun merenungi
kejadian tadi hingga saya tertlelap tidur. Dalam tidur saya bermimpi
melihat dari kejauhan, Ranah berteriak-teriak minta tolong sambil
tangannya menggapai ke arah saya. Sekucur tubuhnya mengeluarkan cairan
kuning bersinar. Ranah disayat-sayat dengan kejam oleh kedua orang
tuanya dan ketika Saya ingin menolongnya, kaki saya terasa tak bergerak
sama sekali hingga saya berteriak keras. Saya terbangun dari mimpi
buruk itu dan mulai berpikir meminta bantuan pada orang pintar. Siapa
tahu bisa membantu menemukan jalan keluar untuk bisa bersama Ranah
selamanya tanpa menimbulkan korban.
Esok harinya saya pergi menuju salah satu pesantren yang cukup
terkenal. Saya ingin sekali menemui Kyai pimpinan pondok pesatren itu
untuk konsultasi sekaligus meminta bantuannya. Saat saya masuk ke dalam
Pesantren, mendadak sekujur tubuh saya panas. Panaspun semakin menjadi
ketika saya mendekat pada sejumlah santri yang sedang mengaji di Surau
(ruang mengaji). Sebagian santri melihat saya pucat pasi dan langsung
pingsan. Ketika sadar, tampak di hadapan saya, sesosok orang tua
memakai jubah putih sedang memegang kening saya. Entah bagaimana, mata
saya melotot tajam ke arahnya.
Dengan ramah, dia memperkenalkan diri seorang Kyai pemimpin pondok
pesantren itu. Dikatakannya kalau saya baru tersadar dari pingsan.
Dengan lembut dia bilang kalau dalam diri ada zat gaib dari alam lain
selain zat yang dimiliki manusia sesuai kodratnya sehingga ketika
memasuki tempat orang menimba ilmu tentang spiritual, zat itu bertolak
belakang dan memanasi rongga fisik manusia itu seperti terjadi terhadap
saya. Untunglah saat saya pingsan, santri didiknya cepat menolong saya
dengan menyirami sekujur tubuh saya dengan air sambil dibacakan
mantera-mantera suci agar terlepas dari gangguan itu dan membawanya ke
rumah Pak Kyai.
Saya langsung mengutakan maksud kedatangan ke pesantren ini sambil
menceritakan semua kejadian yang saya alami selama ini. Sesekali Pak
Kyai tampak terkejut mendengar cerita saya hingga setelah itu Kyai
bersedia membantunya. Dengan ramah, Kyai mengatakan bahwa saya tidak
akan bisa menikahi Ranah dan menurutnya tidak layak karena Manusia
adalah mahluk paling sempurna di dunia ini. Kalau saya memaksanya, maka
selain Ranah akan menjadi korban, saya akan mati dan ruh saya takkan
diterima di sisi Sang Maha Pencipta dan diceburkan ke neraka jahanam
pada hari pembalasan kelak. Diceritakannya bahwa selama ini korban
wanita yang pernah didekati oleh saya adalah akibat dari perbuatan Ranah
yang tidak ingin saya berhubungan dengan wanita dari alam yang sama
seperti saya.
Kemudian Pak Kyai pun membuka kitab kuning huruf arab kuno dan saya
diminta untuk meperhatikan setiap kata yang dibacakannya. Ternyata
dalam kitab itu berisi kisah terjadinya dua alam yakni alam gaib dan
nyata berikut dalam kehidupannya. Sambil terus memperhatikan setiap
bacaan dalam kitab itu, terasa satu persatu urat dalam diri saya
mengencang keras tetapi tak lama kemudian mengendur lemas. Pembacaan
kitab itu terhenti saat waktu sholat tiba, saya ikut sholat menjadi
makmum. Setiap kali sehabis sholat, batin saya terasa tenang.
Sehabis sholat dan berdoa, Pak Kyai pun meneruskan bacaannya hingga
mendadak batin saya berdegup keras dan tak lama kemudian tampak di
hadapan saya Ranah menyapa saya sambil menangis. Dikatakannya kalau dia
dipanggil oleh Pak Kyai. Terlihat Pak Kyai tampak tersenyum dan
menganggukkan kepalanya. Dengan bijak Pak Kyai menasehati Ranah dan
saya. Disarankannya agar hubungan saya diakhiri saja sebelum semuanya
terlambat. Kami berdua mendengarkan dengan seksama berbagai nasehat
dari Pak Kyai.
Saya dan Ranah harus rela dan ikhlas berpisah dan hidup di alamnya
masing-masing. Tanpa sadar kamipun mengangguk tanda setuju dan ikhlas
seperti tak punya beban sama sekali. Tampak dimulut Pak Kyai membaca
sesuatu, dan kedua raut muka kami diusapkan oleh Pak Kyai. Entah
bagaimana, setelah itu kami terlupa satu sama lainnya. Bahkan saat saya
melihat Ranah seperti sesuatu yang asing bagi saya. Selanjutnya dia
berubah menjadi sinar kebiru-biruan dan selanjutnya menghilang. Saya
seperti sadar sepenuhnya. Dengan menangis terharu saya mencium tangan
Pak Kyai menyatakan terima kasih dan bersyukur telah keluar dari
lingkaran yang selama ini selalu menghantui saya.
Sedikitpun tak pernah terlintas dihati saya telah kehilangan sesuatu
yang saya sayangi. Semuanya seperti ringan dan biasa saja. Pak Kyai
selanjutnya menyuruh saya untuk segera kembali kerumah dan mencium
telapak tangan serta meminta maaf pada kedua orang tua saya dan tak
perlu mengutarakan kejadian yang sebenarnya agar mereka tidak terkejut
mendengarnya. Sesampainya di rumah, saya juga melaksanakan perintah Pak
Kyai.
Syukurlah, hingga saat ini saya tak pernah ada rasa rindu ataupun
sesuatu hasrat untuk bertemu dengan Ranah. Entahlan sedang apa dan di
mana dia kini. Tuhan sangat berkuasa terhadap makhluk ciptaannya.
KepadaNya semuanya terjadi dan atasNya semua makhluk. Semoga saya
senantiasa mendapat perlindungannya. Amin. Tamat.